Kaidah ketiga dalam mengamalkan sunnah adalah mempertimbangkan antara mashlahah (kemaslahatan) dan mafsadah (kerusakan).
Terdapat kaidah syar’iyyah: “Apabila ada dua kerusakan saling berhadapan, maka dihindari yang paling besar bahayanya dengan melakukan yang paling ringan (bahayanya).”
Dan juga kaidah yang semisalnya: “Menghindari/menolak kerusakan lebih diutamakan daripada usaha mendatangkan kemaslahatan.”
Apabila suatu kerusakan berhadapan dengan suatu kemaslahatan, maka secara umum, menolak kerusakan itu lebih didahulukan (kecuali jika kerusakan itu tidak dominan). Karena sesungguhnya perhatian pembuat syari’at terhadap perkara yang dilarang itu lebih keras daripada terhadap perkara yang diperintahkan. (Al-Asybaah wan Nazhaa`ir, karya As-Suyuuthiy hal.87)
Dan dalil-dalil yang mendukung kaidah ini dalam syari’at banyak sekali.
Di antaranya adalah hadits yang telah disepakati oleh Al-Bukhariy dan Muslim -dengan lafazh Muslim- dari hadits ‘A`isyah ia berkata: “Aku bertanya kepada Rasulullah tentang Al-Jadr (batu), apakah itu termasuk rumah (Ka’bah)?” Beliau menjawab: “Ya.” Aku bertanya lagi: “Mengapa mereka tidak memasukkannya ke dalam (bangunan) Ka’bah?” Beliau menjawab: “Sesungguhnya kaummu tidak menyempurnakan bangunannya karena minimnya pendanaan.” Aku berkata: “Lalu kenapa keadaan pintunya ditinggikan?” Beliau menjawab: “Kaummu melakukan itu agar mereka bisa memasukkan orang yang mereka kehendaki dan mencegah orang yang mereka kehendaki; dan kalau bukan karena kaummu masih dekat dengan masa jahiliyyah dan aku khawatir hati-hati mereka akan mengingkarinya: sungguh aku berpendapat untuk memasukkan Al-Jadr (batu pondasi) -yang dibangun oleh Nabi Ibrahim- ke dalam bangunan rumah (Ka’bah). Dan aku akan menempelkan pintunya dengan bumi.”
Dan Al-Bukhariy telah membuat satu judul bab atas hadits ‘A`isyah ini, dia berkata: “Bab: Meninggalkan Sebagian Usaha Dan Upaya Karena Kekhawatiran Masih Rendahnya Pemahaman Sebagian Manusia Tentangnya Lalu Mereka Terjerumus Ke Dalam Perkara Yang Lebih Dahsyat Darinya.”
Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Al-Fath: “Diambil faidah dari hadits ini (yaitu): meninggalkan kemaslahatan demi keamanan dari terjerumus ke dalam kerusakan.”
Kemaslahatan Melunakkan Hati Manusia
Berkata Syaikhul Islam ketika menerangkan sebagian perkara mustahab:
“Merupakan perkara yang disukai bagi orang yang mempunyai tujuan untuk mempertautkan (menyatukan) serta melunakkan hati-hati (muslimin) dengan meninggalkan perkara-perkara mustahab ini, karena kemaslahatan menyatukan dan melunakkan (hati-hati muslimin) dalam agama itu lebih besar daripada kemaslahatan mengerjakan perkara semisal itu.
Sebagaimana Nabi meninggalkan/menggagalkan rencana perombakan bangunan Ka’bah guna menjaga hati-hati (muslimin). Demikian juga pengingkaran Ibnu Mas’ud terhadap ‘Utsman karena menyempurnakan shalat di dalam safar, kemudian ia tetap shalat di belakang ‘Utsman dengan sempurna. Dan mengatakan: “Perselisihan itu adalah jelek.” (Majmu’ Fatawa 22/407)
Dan beliau berkata di tempat yang lain: “Mengerjakan suatu amalan boleh jadi termasuk perkara mustahab dan meninggalkannya pun terkadang demikian dengan memperhatikan kerajihan (yang paling besar/kuat) dari kemaslahatan mengerjakannya dan meninggalkannya, sesuai dengan dalil-dalil syar’iyyah.
Kadang-kadang seorang muslim dibolehkan meninggalkan amalan yang mustahab, jika dalam mengerjakannya akan didapati kerusakan yang rajih (kuat) atas kemaslahatannya. Sebagaimana Nabi telah meninggalkan membangun rumah di atas pondasi Nabi Ibrahim…, maka Nabi meninggalkan perkara tersebut yang menurut beliau hal itu lebih afdhal di antara dua perkara, karena perkara yang menghalanginya yang lebih rajih, yaitu: keislaman bani Quraisy yang masih dini, yang apabila perkara ini dilaksanakan malah akan membuat mereka lari, maka dengan ini kerusakan yang akan ditimbulkan lebih rajih atas kemaslahatan yang hendak dicapai.
Antara yang Afdhal dan Mafdhul
Oleh karena itu para imam-seperti Al-Imam Ahmad dan yang lainnya- menyukai agar seorang imam meninggalkan apa yang menurutnya afdhal dalam rangka menjaga hati para makmum, misalnya: baginya lebih afdhal memisahkan dalam shalat witir dengan mengucapkan salam pada raka’at genap kemudian shalat satu raka’at witir, sementara ia mengimami suatu kaum yang hanya mengetahui pelaksanaan shalat witir dengan cara menyambungnya (tidak memisahkannya). Maka apabila ia tidak dapat melangkah kepada yang lebih afdhal dalam pelaksanaan shalat witir tersebut, jadilah kemaslahatan yang dihasilkan dengan mencocoki mereka dengan menyambung shalat witir tersebut menjadi lebih rajih daripada kemaslahatan memisahkan shalat witir tersebut bersamaan adanya kebencian mereka untuk shalat di belakangnya.
Demikian juga bagi orang yang berpendapat merendahkan suara ketika membaca basmalah dalam shalat lebih afdhal (utama) daripada mengeraskannya, sedangkan makmum tidak sependapat dengannya. Maka melakukan tindakan yang menurutnya mafdhul (tidak lebih utama) demi kemaslahatan mencocoki dan menjaga hati para makmum merupakan hal yang rajih atas kemaslahatan mendapatkan keutamaan tersebut. Tindakan ini diperbolehkan dan baik.” (Majmu’ Fatawa 24/195-196)
Kaidah Ini Tidak Menafikan tentang Memperhatikan Sunnah dan Mengamalkannya
Semua contoh di atas yang berdasarkan kaidah tersebut tidaklah menafikan prinsip yang telah dijelaskan, yaitu: selalu memperhatikan sunnah dan berupaya untuk mengamalkannya serta bersemangat atasnya. Karena kaidah itu hanyalah dipakai untuk persoalan insidental, bukan untuk membunuh dan mengubur sunnah demi kaidah tersebut.
Maka apabila ada orang yang memandang, bahwa sunnah merupakan penghalang dari penghalang-penghalang di jalan yang lurus -menganggap sunnah itu mendatangkan perselisihan dan pertentangan-, sesungguhnya kita bantah ucapan tersebut: bahwa meninggalkan sunnah secara total akan mendatangkan kerusakan yang besar, dengan perbuatan itu akan hilang syari’at Allah ini sedikit demi sedikit.
Sungguh telah berkata ‘Abdullah bin Mas’ud: “Akan datang suatu kaum yang meninggalkan sunnah seperti ini -yakni persendian jari-jemari- dan jika kalian membiarkan mereka, maka mereka akan datang dengan membawa malapetaka yang lebih besar. Sesungguhnya tidak ada seorang Ahli Kitab pun, kecuali merekalah yang pertama kali meninggalkan sunnah dan yang paling akhir mereka tinggalkan adalah shalat. Dan sendainya mereka tidak mau menghidupkannya, pastilah mereka akan meninggalkan shalat.” (Diriwayatkan oleh Al-Laalikaa`iy dalam Syarh I’tiqaad Ahlil Hadiits 1/91)
Pemahaman yang Benar untuk Kaidah Ini
Dengan demikian, maka pemahaman yang benar untuk kaidah ini adalah: Apabila pengamalan suatu sunnah dari sunnah-sunnah yang ada akan diikuti oleh suatu mafsadah yang lebih besar daripada kemaslahatannya, maka pengamalan sunnah tersebut ditangguhkan pada situasi dan kondisi yang demikian, dengan memperhatikan beberapa hal berikut ini:
1. Wajib memberi nasihat dan mengingatkan tentang keagungan dan kebesaran kududukan sunnah.
2. Menasihati agar tidak meninggalkan sunnah selama-lamanya/terus-menerus secara berkesinambungan.
3. Apabila telah diketahui keadaan orang yang senang mengacau atas ditegakkannya sunnah, bahwasanya semata-mata penolakannya itu didasari oleh kebencian terhadap sunnah, mungkin karena kefanatikan kepada suatu madzhab, atau karena mengikuti manhaj tertentu, maka sesungguhnya sunnah itu tetap ditegakkan -walaupun membangkitkan kemarahan orang tersebut dan kemarahan seribu orang seperti dia- karena telah tsabit (tetap) dari Nabi bahwasanya beliau bersabda”…barangsiapa membenci sunnahku, maka dia bukan dari golonganku.” (Muttafaqun ‘alaih dari shahabat Anas bin Malik)
Sedangkan maslahat besar yang kita inginkan hanyalah kasih sayang di antara ahlus sunnah dan mencegah terjadinya kebencian dan permusuhan di antara mereka. Maka ketika seseorang atau suatu jama’ah membenci sunnah, maka gugurlah kasih sayang terhadap mereka dan wajib menjauhi serta membenci mereka karena Allah Ta’ala.
Berbeda halnya dengan orang yang bodoh, seperti kebanyakan orang awam, mereka meninggalkan sunnah dengan bentuk penolakan karena kejahilannya terhadap orang yang menegakkan sunnah tersebut, atau terjerumus ke dalam sesuatu dari lafazh-lafazh yang dilarang. Maka dituntut dalam hal ini, bagi orang yang dipercaya dari kalangan ahlul ‘ilmi (‘ulama), untuk mengajari serta membantu orang tersebut dengan cara penuh kelemah-lembutan. Setelah itu, jika dia masih terus berada di atas kejahilannya, maka gabungkanlah dia bersama teman- temannya yang sebelumnya dari kalangan ahlul bid’ah. Wallaahul Musta’aan. Wallaahu A’lamu bish Shawaab.
Diambil dari kitab Dharuuratul Ihtimaam bis Sunanin Nabawiyyah.
0 komentar:
Posting Komentar