Syari’at yang lurus ini melarang seseorang dari mencela penguasa, sebab mencela mereka akan menjurus kepada tidak mentaatinya dalam perkara yang ma’ruf, dan akan membangkitkan emosi masyarakat terhadap mereka, yang akan membuka jalan terjadinya kekacauan yang tidak akan kembali kepada manusia melainkan kejahatan yang merebak, sebagaimana kebiasaan mencela mereka akan berakhir dengan melakukan pemberontakan atas mereka, dan memeranginya. Dan ini merupakan malapetaka yang dahsyat dan musibah yang besar.
Mengotori kehormatan para penguasa dan menyibukkan diri dengan mencelanya, serta menyebut aib-aibnya merupakan kesalahan besar dan kejahatan yang buruk yang dilarang oleh syari’at yang suci, dan mencela pelakunya, dan ini merupakan bibit sikap memberontak terhadap penguasa yang merupakan inti rusaknya agama dan dunia. Dan telah diketahui bahwa wasilah (perantara) memiliki hukum yang sama dengan tujuan, maka setiap nash yang mengharamkan keluar dari ketaatan dan celaan terhadap pelakunya merupakan dalil yang menunjukkan diharamkannya mencela dan tercelanya pelakunya.(53)
Dikeluarkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam “At-tamhid” dari Anas bin Malik Rahimahullah bahwa beliau berkata :
” كان الأكابر من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم ينهوننا عن سبِّ الأمراء”
“Adalah para pembesar dari shahabat Rasulullah صلى الله عليه وسلم melarang kami dari mencela para penguasa.”
MENASEHATI PENGUASA
Nasehat bagi penguasa termasuk diantara perkara agama yang terpenting, sebagaimana yang dikeluarkan Muslim dalam shohihnya dari Tamim Ad-Dari bahwa Nabi Shalallahu’alaihi Wassallam bersabda:
” الدِّينُ النَّصِيحَةُ قُلْنَا لِمَنْ قَالَ لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ”
“Agama itu nasehat”. Kami bertanya: “Bagi siapa?” Beliau menjawab: ”Bagi Allah, kitab- Nya.Rasul-Nya, dan bagi para pemimpin kaum muslimin dan keumuman kaum muslimin.”
Dan dikeluarkan Tirmidzi dalam sunan-nya dari Abdullah bin Mas’ud dari Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
ثَلَاثٌ لَا يُغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ مُسْلِمٍ إِخْلَاصُ الْعَمَلِ لِلَّهِ وَمُنَاصَحَةُ أَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَلُزُومُ جَمَاعَتِهِمْ فَإِنَّ الدَّعْوَةَ تُحِيطُ مِنْ وَرَائِهِمْ
“Tiga hal yang hati seorang muslim tidak dengki padanya: ikhlas dalam beramal karena Allah, menasehati para pemimpin kaum muslimin, dan komitmen dengan jama’ah mereka, karena sesungguhnya do’a itu terkabulkan bersama mereka”(54)
Makna hadits ini bahwa ketiga perkara ini: yaitu ikhlas dalam beramal karena Allah, menasehati penguasa, dan komitmen dengan jama’ah, maka barangsiapa yang melakukannya, maka dalam hatinya tidak terdapat sifat iri dan dengki.
Berkata Abu Nu’aim Al-Asbahani: “Barangsiapa yang menasehati para pemimpin dan penguasa maka dia mendapat hidayah, dan barangsiapa yang menipu mereka, maka dia menyimpang dan melampaui batas.”(55)
BEBERAPA BENTUK MENASEHATI PENGUASA
Dalam menasehati penguasa ada empat cara:
Pertama: menasehati penguasa secara rahasia antara dia dan penguasa.
Kedua: menasehati penguasa didepan manusia secara terang-terangan di hadapannya,dalam keadaan memungkinkan menasehatinya secara tersembunyi.
Ketiga: menasehati penguasa secara tersembunyi, lalu keluar dari sisi penguasa dan menyebarkannya dikalangan manusia.
Keempat:mengingkari penguasa disaat dia tidak ada melalui majelis-majelis, nasehat, khutbah, pelajaran, dan semisalnya. Maka keempat cara ini, akan kami sebutkan secara terperinci masing- masing dari bentuk tersebut:
Bentuk pertama: menasehati penguasa secara tersembunyi
Menasehati penguasa secara tersembunyi termasuk prinsip dalam manhaj salafy yang diselisihi oleh ahlul ahwa’ dan bid’ah seperti khawarij:
Sebab asal hukum menasehati penguasa adalah secara rahasia dan tidak terang-terangan. Hal ini berdasarkan apa yang dikeluarkan oleh Ahmad dalam musnadnya dari ‘Iyyadh berkata : bersabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم :
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ
“Barangsiapa yang hendak menasehati penguasa tentang suatu perkara, maka jangan dia menampakkannya secara terang-terangan, namun dia mengambil tangannya dan bersepi dengannya, jika dia menerima maka itulah yang diinginkan, namun jika tidak maka dia telah menunaikan kewajibannya.”(56)
Perkataannya: “Barangsiapa yang hendak menasehati penguasa tentang satu perkara”, terdapat keumuman lafadz baik bagi yang menasehati maupun perkara nasehatnya.
Perkataannya: “jangan dia menampakkan secara terang-terangan”, padanya terdapat larangan menasehati secara terang-terangan, dan larangan menunjukkan haramnya, dan wajib merahasiakannya.
Perkataannya: ”namun hendaklah dia mengambil tangannya dan bersepi dengannya, padanya terdapat penjelasan cara syar’i dalam menasehati penguasa, yaitu secara rahasia, tidak dengan terang-terangan .”Bersepi dengannya” yaitu sendirian. Seperti ucapan Usamah : ”Apakah kalian menganggap bahwa aku tidak berbicara dengannya melainkan aku perdengarkan kepada kalian, demi Allah, sungguh aku telah berbicara dengannya antara aku dan dia.”
Hal ini dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim dalam kedua shohihnya dari Syaqiq dari Usamah bin Zaid berkata: dikatakan kepadanya: “Mengapa engkau tidak masuk bertemu Utsman dan mengajaknya berdialog”. Beliau menjawab: “Apakah kalian menganggap bahwa jika aku berbicara dengannya , saya harus memperdengarkan kepada kalian, demi Allah, aku telah berbicara dengannya, antara aku dan dia tanpa membuka suatu perkara yang aku tidak suka menjadi orang pertama yang membukanya.”
Maka dalam atsar ini menunjukkan bahwa nasehat secara terang-terangan merupakan perkara mungkar yang dapat menimbulkan fitnah, dan bahwa dengan cara rahasia merupakan prinsip dalam menyempurnakan penyampaian nasehat tanpa fitnah dan tanpa menimbulkan gejolak dikalangan rakyat terhadap pemimpinnya, dari ucapannya:
“Demi Allah, sungguh aku telah berbicara dengannya antara aku dan dia” dan ucapannya
“tanpa aku membuka perkara yang aku tidak senang menjadi orang pertama yang membukanya.”
Berkata Imam Nawawi: “Maksudnya adalah melakukan pengingkaran secara terang-terangan terhadap para penguasa di kalayak ramai, seperti yang dilakukan oleh para pembunuh Utsman Radhiyallahu ‘anhu. Dan pada ucapan diatas terdapat adab bersama para penguasa dan bersikap lembut terhadap mereka, dan menasehati mereka secara rahasia dan menyampaikan kepadanya apa yang diucapkan oleh manusia tentang mereka agar mereka berhenti darinya, dan ini semua jika hal tersebut memungkinkan. Namun jika tidak mungkin menasehatinya dan mengingkarinya secara rahasia, maka dia boleh melakukannya secara terang-terangan agar tidak hilang prinsip al-haq.”(57)
Perkataannya: ”Ini semua jika hal tersebut memungkinkan” yaitu memungkinkan bagi yang menasehatinya penguasa secara rahasia, maka itu yang wajib baginya, tidak yang lainnya.
Perkataannya: ”Jika tidak memungkinkan menasehatinya dan mengingkarinya secara rahasia, maka dia boleh melakukannya secara terang-terangan agar tidak hilang prinsip al-haq”, yaitu bahwa dia tidak mengingkari secara terang-terangan kecuali dalam keadaan sangat terpaksa,(58) oleh karena itu ‘Iyyadh (bin Ghunm) mengingkari Hisyam tatkala dia mengingkarinya secara terang-terangan tanpa keadaan darurat. Maka tidak ada tindakan dari Hisyam melainkan menerimanya, Wallahu a’lam.
Berkata Syekh Bin Baaz ketika mengomentari atsar Usamah :
“Tatkala mereka membuka kejahatan di zaman Utsman Radhiyallahu ‘anhu dan mengingkari Utsman Radhiyallahu ‘anhu secara terang-terangan, maka semakin sempurnalah fitnah, peperangan, dan kerusakan yang pengaruhnya masih terasa hingga hari ini, sampai terjadi fitnah antara Ali dan Mu’awiyah, dan antara pembunuh Utsman dan Ali dengan sebab itu. Dan terbunuh sekian banyak dari para shahabat dan selainnya dengan sebab melakukan pengingkaran secara terang-terangan dan menyebut ‘aib secara transparan, sehingga menyebabkan masyarakat membenci penguasa mereka, sampai merekapun membunuhnya. Kami memohon kepada Allah keselamatan.”(59)
Dan dikeluarkan Imam Ahmad dalam musnadnya dari Sa’id bin Jumhan bahwa dia berkata: “Aku bertemu dengan Abdullah bin Abi Aufa lalu aku berkata: sesungguhnya penguasa itu mendzalimi manusia dan bertindak kasar terhadap mereka.” Maka dia mengambil tanganku dan menusuknya dengan tusukan yang keras lalu berkata: “Celaka engkau wahai Ibnu Jumhan, hendaklah engkau berpegang kepada sawadul a’dzam(60), hendaklah engkau berpegang kepada sawadul a’dzam. Jika penguasa itu mau mendengar darimu maka datangilah rumahnya lalu kabarkan apa yang engkau ketahui, jika dia menerima itu darimu, namun jika tidak maka biarkan dia, sebab kamu tidaklah lebih mengetahui tentang hal itu darinya.”
Perhatikanlah Shahabat yang mulia Ibnu Abi Aufa mencegahnya dari membicarakan penguasa, dan memerintahkannya untuk menasehatinya secara rahasia dan bukan terang-terangan.
Berkata Ibnu Nuhas rahimahullah: “Hendaknya dia memilih pembicaraan bersama penguasa ditempat sepi daripada berdialog dengannya dihadapan umum”.(61)
Dan berkata Asy Syaukani: ”Sepantasnya bagi yang mengetahui kesalahan pemimpin dalam sebagian permasalahan agar menasehatinya, dan jangan menampakkan celaan terhadapnya di hadapan khalayak ramai, namun sebagaimana yang terdapat dalam hadits bahwa dia mengambil dengan tangannya lalu berduaan dengannya, dan menyampaikan nasehat dan jangan menghinakan penguasa milik Allah (di muka bumi).(62)
Berkata para Imam Dakwah: “Apa yang terjadi pada penguasa dari kemaksiatan, dan penyimpangan yang tidak menyebabkan kekafiran dan keluar dari Islam, maka wajib menasehati mereka dengan cara yang syar’i dengan lembut, dan mengikuti metode salafus soleh dengan tidak mencelanya dimajelis-majelis dan kumpulan manusia.”(63)
Dan berkata Allamah As-Sa’di rahimahullah: “Bagi siapa yang melihat dari mereka (para penguasa,pen) sesuatu yang tidak halal, agar memberikan peringatan kepadanya dengan cara rahasia, tidak dengan terang-terangan, dengan lembut dan dengan ungkapan yang sesuai keadaan.”(64)
Berkata Syaikh Bin Baaz rahimahullah: “Cara yang diikuti dikalangan salaf adalah menasehati antara mereka dengan penguasa (secara rahasia), menulis surat kepadanya, menghubungi para ulama yang punya hubungan dengannya agar membimbingnya kepada kebaikan. Mengingkari kemungkaran bisa dilakukan tanpa penyebut pelakunya, maka dia mengingkari zina, minum khamr, riba, tanpa menyebut orang yang melakukannya. Dan cukup mengingkari kemaksiatan dan memberi peringatan darinya dengan tanpa menyebut bahwa si fulan melakukannya , (tanpa menyebut) apakah dia hakim atau bukan.”(65)
Bentuk kedua: Menasehati penguasa di depan manusia secara terang-terangan, dalam keadaan memungkikan menasehatinya secara rahasia.
Bentuk seperti ini diharamkan, berdasarkan beberapa ha berikut ini:
1. Menyelisihi hadits ‘Iyyadh bin Ghunm yang memerintahkan secara rahasia.
2. Menyelisihi atsar salafus shaleh dan manhajnya seperti Usamah bin Zaid dan Abdullah bin Abi Aufa, dan yang lainnya.
3. Berdasarkan sabda Nabi Shalallahu’alaihi Wassallam: ”Barangsiapa yang menghinakan penguasa Allah di muka bumi maka Allah akan menghinakannya.” Riwayat Tirmidzi.
Berkata Syaikh Shaleh bin Abdul Aziz bin Utsaimin rahimahullah: “Jika membicarakan seorang raja tanpa kehadirannya, atau menasehatinya secara terang-terangan dan memasyhurkannya termasuk menghinakannya yang Allah telah mengancam pelakunya dengan kehinaan, maka tidak diragukan lagi bahwa wajib menjaga apa yang telah kami sebutkan -yaitu menasehati secara rahasia- bagi siapa yang sanggup menasehati mereka dari para ulama yang dekat dengan mereka.”(66)
Dan berkata Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah: : “Jika terjadi kemungkaran dari seorang pemimpin atau yang lainnya, maka hendaklah dinasehati dengan lembut dan rahasia , dan tidak diketahui oleh seorangpun, jika dia menerima maka itulah yang dikehendaki, namun jika tidak maka dia mencari bantuan orang lain yang bisa menerima (nasehatnya) secara rahasia, namun jika dia tidak melakukan dan memungkinkan mengingkarinya secara terang-terangan kecuali bila terhadap seorang pemimpin, dia telah menasehatinya dan tidak diterima dan mencari bantuan yang lain pun tidak diterima, maka hendaklah dia mengangkat masalah itu kepada kami secara tersembunyi.”(67)
Bentuk ketiga: menasehati penguasadengan cara rahasia, lalu dia menyebarkannya.
Cara seperti ini diharamkan berdasarkan hal-hal berikut:
1. menyelisihi hadits ‘Iyyadh bin Ghunm, sebab maksud dan tujuannya adalah agar manusia tidak mengetahuinya yang dapat menimbulkan kerusakan.
2. menyelisihi petunjuk salaf dalam menyikapi penguasa.
3. dapat menimbulkan riya’ dan tanda menunjukkan ketidak ikhlasan dalam melakukannya.
4. dapat menimbulkan fitnah, kekacauan, dan perpecahan dari jama’ah.
5. menghinakan penguasa, dan Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam bersabda:
“Barangsiapa yang menghinakan penguasa Allah di muka bumi, maka Allah akan menghinakannya.”
Berkata Syaikh Shaleh bin Abdul Aziz bin Utsaimin rahimahullah:
“Jika membicarakan seorang raja tanpa kehadirannya, atau menasehatinya secara terang- terangan dan memasyhurkannya termasuk menghinakannya yang Allah telah mengancam pelakunya dengan kehinaan, maka tidak diragukan lagi bahwa wajib menjaga apa yang telah kami sebutkan -yaitu menasehati secara rahasia-“
Berkata Syaikh As-Sa’di rahimahullah:
“Berhati-hatilah wahai pemberi nasehat kepada mereka cara yang terpuji ini –yaitu dengan lembut dan halus- untuk kamu tidak merusak nasehatmu dengan mengharapkan pujian dimata manusia, lalu kamu mengatakan kepadanya: sesungguhnya aku telah menasehati mereka dan aku mengatakan begini dan begitu, karena sesungguhnya ini merupakan tanda riya’ dan alamat kelemahan ikhlas, dan dapat menyebabkan kemudaratan lainnya sebagaimana yang telah diketahui.”(68)
Bentuk keempat: menasehati penguasa tanpa kehadirannya diberbagai majelis dan nasehat serta khutbah, dan semisalnya
Maka cara seperti inipun diharamkan berdasarkan beberapa hal berikut ini:
1. Karena ini termasuk ghibah dan kebohongan terhadap penguasa.Allah Ta’ala berfirman:
“Dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”.(QS.Alhujurat:12)
Maka Dan dikeluarkan Imam Muslim dalam shahihnya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda :
أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ ؟قَالَ ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ قَالَ إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ”
“Tahukah kalian apa itu ghibah? Mereka menjawab: Allah dan Rasulnya lebih mengetahui”. Beliau bersabda: “Yaitu menyebut saudaramu dengan sesuatu yang dibencinya”. Lalu ada yang bertanya: “Bagaimana jika pada saudaraku itu benar-benar seperti yang aku katakan?” Beliau menjawab: ” Jika benar apa yang kamu katakan maka sungguh engkau telah mengghibahinya, dan jika tidak benar perkataanmu maka sungguh engkau telah menuduhnya (dengan dengan bohong).”
Maka Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Rasul-Nya melarang dari ghibah, dan tidaklah diragukan bahwa membicarakan penguasa termasuk diantara ghibah tanpa kehadirannya, walaupun yang dibicarakan adalah benar, dan kalau dusta maka termasuk buhtan (kebohongan).
2. Dan bentuk seperti ini juga termasuk ke dalam adu domba diantara manusia yang dapat menimbulkan fitnah dan kekacauan, sebagaimana yang dikeluarkan Imam Muslim dalam shohihnya dari Abdullah bin Mas’ud berkata: sesungguhnya Muhammad صلى الله عليه وسلم bersabda:
أَلَا أُنَبِّئُكُمْ مَا الْعَضْهُ ؟ هِيَ النَّمِيمَةُ : الْقَالَةُ بَيْنَ النَّاسِ “
“Maukah aku kabarkan kepada kalian apa itu adhah? Yaitu namimah, menyebarkan adu domba diantara manusia.”
3. Dan karena hal itu menyelisihi hadits ‘Iyyadh bin Ghunm tentang wajibnya menasehati secara rahasia.
4. Dan juga menyelisihi petunjuk salaf soleh tentang cara menasehati penguasa.
5. Dan juga termasuk merendahkan penguasa dan ini diharamkan.
6. Dan juga dapat menyebabkan terjadinya pertumpahan darah dan pembunuhan, sebagaimana yang dikeluarkan oleh Ibnu Sa’ad dalam “at-thobaqot” dari Abdullah bin Ukaim Al-Juhani bahwa dia berkata: “Aku tidak akan membantu untuk menumpahkan darah seorang khalifah setelah Utsman selama-lamanya!!” Lalu ada yang bertanya kepadanya: ”Wahai Abu Ma’bad, apakah engkau turut membantu atas tertumpahnya darah beliau?” Ia menjawab: “Sesungguhnya aku menganggap bahwa menyebut kesalahan-kesalahannya termasuk membantu tertumpahnya darah!”
Perhatikanlah atsar ini, dimana beliau menganggap bahwa menyebut kesalahan-kesalahan penguasa termasuk diantara faktor pendukung atas tertumpahnya darah.(69)
Berkata para Imam Dakwah: apa yang dilakukan oleh sebagian penguasa berupa kemaksiatan dan penyimpangan yang tidak menyebabkan kekafiran dan keluar dari Islam, maka wajib menasehati mereka dengan cara yang syar’i dengan lembut, dan mengikuti cara yang telah diamalkan salafus shaleh dengan tidak menjelekkan mereka di berbagai majelis dan perkumpulan manusia, lalu meyakini bahwa hal tersebut termasuk diantara mengingkari kemungkaran yang wajib diingkari atas setiap hamba. Ini adalah kesalahan yang besar dan kejahilan yang nampak, pelakunya tidak mengetahui akibatnya yang akan terjadi berupa kerusakan yang besar dalam agama dan dunia, sebagaimana telah diketahui hal tersebut oleh orang yang Allah terangi hatinya dan mengetahui metode salafus shaleh dan para pemimpin agama.”(70)
Berkata Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah: “Sebagian orang ada yang kebiasaannya disetiap majelis yang dibentuknya, selalu membicarakan para penguasa dan menodai kehormatan mereka, menyebarkan kekeliruan dan kesalahan mereka, lalu mengenyampingkan apa yang mereka miliki dari kebaikan atau kebenaran, dan tidaklah diragukan bahwa menempuh cara seperti ini dan menodai kehormatan para penguasa, tidak akan menambah permasalahan kecuali semakin parah, sebab itu tidak akan menyelesaikan problem dan tidak akan mengangkat kedzaliman, namun hanya semakin menambah musibah diatas musibah, dan mengakibatkan kebencian terhadap para penguasa dan tidak melaksanakan perintah-perintahnya yang wajib ditaati.”(71)
Berkata Syaikh Bin Baaz rahimahullah: “Bukan termasuk manhaj salaf memasyhurkan aibnya para penguasa dan menyebutkannya di atas mimbar-mimbar, sebab hal tersebut dapat menjurus kepada gejolak dan tidak mendengar dan taat dalam perkara ma’ruf, dan menjurus kepada pemberontakan yang memudharatkan dan tidak mendatangkan manfaat.”(72)
Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin: ”Aku memintamu atas nama Allah untuk memahami manhaj salaf shaleh dalam menyikapi penguasa, dan jangan dia menjadikan kesalahan-kesalahan penguasa sebagai sarana untuk membangkitkan amarah umat, dan menimbulkan kebencian terhadap para penguasa. Dan ini inti kerusakan dan salah satu pondasi yang menimbulkan fitnah di kalangan manusia, sebagaimana pula memenuhi hati dengan penuh kebencian terhadap penguasa dapat menimbulkan kejahatan, fitnah, kekacauan. Demikian pula memenuhi hati dengan penuh kebencian terhadap para ulama akan menyebabkan diremehkannya kedudukan mereka, yang kemudian berakibat diremehkannya syariat yang mereka emban, maka jika seseorang berupaya untuk mengecilkan sikap segannya terhadap para ulama dan penguasa, maka syariat dan keamanan akan menjadi lenyap , sebab ketika ulama tersebut berbicara, maka mereka tidak lagi percaya dengan ucapannya, dan jika para penguasa angkat bicara, maka merekapun membangkang dari ucapan mereka, sehingga terjadilah kejahatan dan kerusakan.
Maka wajib kita perhatikan, apa yang telah ditempuh oleh salafus shaleh dalam menghadapi penguasa, dan hendaklan seseorang mengatur dirinya dan mengetahui akibatnya.
Dan ketahuilah bahwa orang yang membangkitkan gejolak, hanyalah membantu musuh-musuh Islam. Maka menimbulkan gejolak dan sikap membantah bukanlah menjadi ukuran, namun yang menjadi ukuran adalah sikap hikmah.
Dan bukanlah saya memaksudkan dengan sikap hikmah adalah diam dari kesalahan, akan tetapi dalam hal mengobati kesalahan tersebut untuk kita semakin memperbaiki kondisi, bukan untuk merubah kondisi (menjadi semakin runyam,pen). Maka seorang penasehat adalah orang yang memperbaiki kondisi dan bukan merubah kondisi.”(73)
SYUBHAT ORANG YANG MEMBOLEHKAN MENGERITIK PENGUASA TANPA KEHADIRANNYA BESERTA BANTAHANNYA
Sebagian orang ada yang mengeritik penguasa tanpa kehadirannya, jika engkau katakan kepadanya bahwa ini tidak boleh, maka dia berdalil dengan apa yang dikeluarkan oleh Tirmidzi dalam sunan-nya dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Nabi Shalallahu’alaihi Wassallam bersabda:
إِنَّ مِنْ أَعْظَمِ الْجِهَادِ كَلِمَةَ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
“Sesungguhnya diantara jihad yang paling agung adalah mengucapkan kebenaran disisi penguasa yang dzalim”.(74)
Lalu dia berkata: ini adalah kalimat kebenaran.
Tidaklah diragukan bahwa hal ini merupakan kesalahan fatal, berdasarkan beberapa hal berikut:
Pertama: hadits ini menyebutkan: “di sisi” yaitu dihadapan penguasa dan dengan kehadirannya , dan bukan dibelakangnya.
Kedua: bahwa hadits ini tidak menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah engkau mengingkarinya secara terang-terangan atau tanpa kehadirannya, bahkan hadits ini wajib difahami sejalan dengan hadits ‘Iyyadh bin Ghunm yang mewajibkan secara rahasia, maka kita menyatakan: kamu menasehatinya sendirian, bukan dengan terang-terangan atau tanpa kehadirannya.
Ketiga: sabdanya mengatakan “di sisi penguasa yang dzalim” , dan kita Walhamdulillah –di kerajaaan arab saudi- dibawah naungan penguasa yang adil yang beramal dengan Al-qur’an dan Sunnah diatas pemahaman salafus shaleh, menyeru kepada tauhid dan memerangi bid’ah dan khurofat.
Berkata Syekh Ibnu Utsaimin: ”Aku bersaksi kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala
terhadap apa yang aku katakan,dan aku mempersaksikannya kepada kalian pula bahwa aku tidak mengetahui dimuka bumi pada hari ini ada yang menerapkan syariat Allah seperti apa yang diterapkan di negeri ini, yang aku maksudkan adalah kerajaan arab saudi. Dan tidaklah diragukan bahwa ini termasuk diantara kenikmatan Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepada kita. Maka hendaklah kita senantiasa menjaga atas apa yang telah kita rasakan pada hari ini, bahkan kita selalu berusaha menambah pengamalan syariat Allah Subhanahu Wa Ta’ala lebih dari apa yang telah kita rasakan pada hari ini. Sebab aku tidaklah menganggap telah sempurna dan telah berada di puncak kesempurnaan dalam hal penerapan syariat Allah Subhanahu Wa Ta’ala, tidak diragukan bahwa kami banyak melalaikan darinya, namun kami lebih baik Walhamdulillah dari apa yang kami ketahui dari negeri-negeri lainnya…….
Sesungguhnya kita berada di negeri ini hidup dalam kenikmatan setelah kefakiran, keamanan setelah rasa takut, keilmuan setelah kejahilan, kemuliaan setelah kehinaan, dengan keutamaan berpegang teguh terhadap agama ini, yang menyebabkan sakitnya hati orang-orang yang dengki dan mengganggu peristirahatan mereka, mereka berangan-angan hilangnya kenikmatan yang kita rasakan sekarang, dan sangat disayangkan sekali mereka menemukan diantara kita ada yang menggunakannya, ada yang memanfaatkannya untuk menghancurkan bangunan yang kokoh ini dengan cara menyebarkan kebatilan mereka, dan menganggap baik kejahatan yang mereka sebarkan dikalangan manusia,
“mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri” (QS.Al-Hasyr:2)
Sungguh aku heran tatkala disebutkan kepadaku bahwa ada salah seorang yang jahil –semoga Allah memberi hidayah kepadanya dan mengembalikannya kepada kebenaran- menyebarkan berbagai selebaran yang berasal dari luar negeri yang tidak terlepas dari tipu muslihat dan dusta, lalu meminta agar disebarkan kepada sebagian para pemuda, lalu memberi semangat kepada mereka agar mengharapkan pahalanya dari Allah. Subhanallah, apakah pemahaman mereka sudah terbalik? Apakah mungkin keridhoan Allah dapat ditempuh melalui kemaksiatan kepada- Nya? Apakah mendekatkan diri kepada Allah dapat dilakukan dengan cara menyebarkan fitnah dan menanamkan perpecahan di kalangan kaum muslimin terhadap penguasa mereka? Aku berlindung diri kepada Allah untuk menjadi seperti mereka.(75)
Sebagai penutup: saya akan menyebutkan kalimat yang sangat penting dari Syaikh Shaleh Alus syaikh seputar kesalahan yang dilakukan kebanyakan dari para pemuda tatkala terjadi sebuah problem yang disebabkan kejahilannya terhadap manhaj salafus shaleh:
“Wahai muslim, jangan engkau menerapkan hadits-hadits tentang fitnah kepada kondisi yang sedang engkau hadapi, sebab sebagian orang merasa nyaman disaat muncul fitnah untuk meneliti kembali hadits-hadits Nabi صلى الله عليه وسلم dalam hal fitnah dan sering membicarakannya diberbagai majelis: bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم demikian, inilah waktunya, inilah fitnah! Dan yang semisalnya.
Ulama salaf mengajari kita bahwa hadits-hadits tentang fitnah tidak boleh diterapkan pada kondisi saat ini, namun akan nampak kebenaran ucapan Nabi صلى الله عليه وسلم terhadap apa yang beliau kabarkan dari terjadinya fitnah setelah ia terjadi dan berlalu, yang disertai sikap waspada dari fitnah secara keseluruhan. Penerapan terhadap hadits-hadits fitnah ini kepada kondisi yang sedang terjadi dan menyebarkannya dikalangan kaum muslimin bukanlah dari manhaj ahlus sunnah wal jama’ah, namun ahlus sunnah wal jama’ah menyebutkan fitnah dan hadits-hadits fitnah untuk memberi peringatan darinya dan menjauhkan kaum muslimin dari keterlenaan atau dari mendekatinya, agar kaum muslimin tersebut tidak tertimpa fitnah, dan agar agar mereka meyakini kebenaran apa yang telah dikabarkan oleh Nabi صلى الله عليه وسلم .(76)
Inilah akhir dari apa yang ingin saya sebutkan dalam risalah yang singkat ini, dan hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala aku memohon agar memberi manfaat kepada kaum muslimin. Dan segala puji bagi Allah yang Maha Awal (yang tidak ada sebelumnya sesuatu) dan Maha Akhir (yang tidak ada setelahnya sesuatu) dan yang maha Zhahir (tidak ada diatasnya sesuatu) dan maha batin ( yang tidak tersembunyi dari sesuatu apapun), shalawat dan salam kepada Muhammad صلى الله عليه وسلم , keluarganya, para shahabatnya Radhiyallahu ta’ala ‘anhum ajma’in
———————————–
53 Al-mu’amalah: 87
54 Dishohihkan Al-Albani dalam ash-shohihah:1/404. (penterjemah)
55 Fadhilatul ‘adilin:140
56 Dishohihkan Al-Albani dalam tahqiqnya terhadap kitab As-sunnah,karangan Ibnu Abi Ashim,no:1096,dan 1097
57 Syarah muslim:18/160
58 Dan terhadap hal ini difahami perbuatan salaf ,seperti kisah Abu Sa’id al-Khudri bersama Marwan gubernur Madinah,tatkala dia menudahulukan khutbah dari sholat ‘ied.lihat shohih Bukhari (2/449,no:956,kitab al-iedain,bab: al-khuruj ilal musholla bighoiri mimbar,bersama al- fath).
59 Al-ma’lum:23,dan kitab: al’mu’amalah:44.
60 Maksudnya adalah taat kepada penguasa yang mayoritas masyarakatnya berlindung di bawah kekuasaannya.
61 Tanbih al-ghafilin: 64
62 As-sailul jarror: 4/556
63 Nasihah muhimmah: 30
64 Ar-riyadh an-nadhiroh:50
65 Al-ma’lum:22
66 Maqoshid al-Islam: 393.
67 Nasihah muhimmah:33
68 Ar-riyadh an-nadhiroh :50
69 Ini memberi faedah bahwa pemberontakan bisa dilakukan dengan pedang juga dengan lisan,berbeda dengan apa yang dikatakan oleh seseorang : bahwa memberontak tidak dilakukan kecuali dengan pedang. Perhatikanlah hal ini,dan cermatlah dengan baik!
70 Nasihah muhimmah: 30
71 Wujub taatis sulthan,karya Al-Uraini: 23-24
72 Al-ma’lum:22,al-mu’amalah:43
73 Al-mu’amalah: 32
74 Dishohihkan Al-Albani dalam as-shohihah: 1/491. (penterjemah)
75 Wujub tho’at as-sulthan,karya al-Uraini:49.
76 Ad-dhawabit asy-syar’iyyah li mauqif al-muslim fil fitan:52.
(Selesai)
Februari 6, 2007
Kedudukan Sunnah Dalam Menyikapi Penguasa Negeri (Revisi Bagian I)
Posted by artikelislam under Al-Ilmu, Darus Salaf, DarusSalaf, Islam, Manhaj, Manhaj Salaf, Manhaj Salafi, Manhaj Salafy, Salaf, Salafi, Salafy, Syariah, thullabul-ilmiyLeave a Comment
Ini adalah sebuah risalah yang ditulis oleh Asy Syaikh Abu Umar Ahmad bin Umar Bazemul dan diterjemahkan oleh Al Ustadz Abu Karimah Askary bin Jamal Al Bugisi yang menjelaskan kewajiban mendengar dan taat kepada penguasa selama bukan dalam hal kemaksiatan, serta menjelaskan kewajiban menghormati, memuliakan dan menasehatinya, dan penjelasan tentang diharamkannya melepaskan baiat ketaatan dan haramnya memberontak terhadap mereka.
Kedudukan Sunnah Dalam Menyikapi Penguasa Negeri
Ditulis : Abu Umar Ahmad bin Umar Bazemul
(Diterjemahkan oleh Al Ustadz Abu Karimah Askary)
بسم الله الرحمن الرحيم
إن الحمد لله نحمده و نستعينه و نستغفره و نعوذ بالله من شرور أنفسنا و من سيئات أعمالنا من يهده الله فلا مضل له و من يضلل فلا هادي له و أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له و أشهد أن محمداً عبده و رسوله
{ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ} (آل عمران:102) .
{ يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيراً وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيباً}. (النساء:1) .
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيداً . يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزاً عَظِيماً} (الأحزاب:70-71) .
فإن أصدق الكلام كلام الله و خير الهدي هدي محمد صلى الله عليه وسلم و شر الأمور محدثاتها و كل محدثة بدعة و كل بدعة ضلالة و كل ضلالة في النار .
أما بعد :
Ini adalah risalah yang ringkas, yang aku sebutkan padanya nash-nash dari Sunnah Nabawiyyah yang mutawatir dalam menjelaskan kewajiban mendengar dan taat kepada penguasa selama bukan dalam hal kemaksiatan, serta menjelaskan kewajiban menghormati, memuliakan dan menasehatinya, dan penjelasan tentang diharamkannya melepaskan baiat ketaatan dan haramnya memberontak terhadap mereka.
Sejumlah hadits-hadits Nabi صلى الله عليه وسلم ini memberikan faedah peringatan dari sekte khawarij, yang pada hadits-hadits tersebut terdapat kecukupan bagi orang yang Allah pelihara dari terjerumus ke dalam sekte khawarij tersebut dan bagi orang yang tidak sependapat dengan mereka dan bersabar dalam menyikapi kedzaliman para penguasa dan pemimpin Negara, dan tidak melakukan perlawanan dengan pedang-nya terhadap mereka, serta memohon kepada Allah Ta’ala agar menghilangkan kedzaliman yang menimpa dirinya dan kaum muslimin dan mendoakan penguasa agar diberi kebaikan.
Jika penguasa memerintahkannya untuk taat dan memungkinkan baginya untuk mentaatinya maka hendaklah ia mentaatinya, dan apabila dia tidak mampu maka hendaklah dia meminta udzur kepada mereka. Dan jika mereka memerintahkan kepada kemaksiatan maka jangan ia mentaatinya, maka barangsiapa yang memiliki sifat ini maka dia berada diatas jalan yang lurus insya Allah( ).
Dan aku beri nama risalah ini “Kedudukan sunnah dalam menyikapi penguasa negeri”, hanya kepada Allah aku memohon agar menjadikan amalanku senantiasa bersih dari riya’ dan sum’ah, dan menjadikannya sebagai simpanan amalku pada hari yang tidak bermanfa’at harta dan anak keturunan, kecuali yang menghadap kepada-Nya dengan membawa hati yang suci.
Ditulis oleh: Abu Umar Ahmad bin Umar Bazemul
Pengajar di Ma’had Harom, Makkah Syarifah.
KEUTAMAAN SEORANG PEMIMPIN YANG ADIL
Rasulullah صلى الله عليه وسلم menjelaskan bahwa seorang pemimpin yang adil adalah seorang yang mengikuti perintah Allah dengan meletakkan sesuatu pada tempatnya tanpa berlebihan dan tidak pula meremehkan, maka dialah yang termasuk diantara yang mendapatkan perlindungan Allah pada hari kiamat pada hari yang tiada naungan kecuali naungannya, dan bahwa dia termasuk diantara ahli syurga, sebagaimana yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari dalam shohihnya dari hadits Abu Hurairoh Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ إِمَامٌ عَادِلٌ وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ اللَّهِ وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ فِي خَلَاءٍ فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسْجِدِ وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ إِلَى نَفْسِهَا قَالَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا صَنَعَتْ يَمِينُهُ “.
”Ada tujuh golongan yang Allah beri naungan pada hari kiamat di bawah naungan-Nya dimana tidak ada naungan kecuali naungan-Nya: seorang pemimpin yang adil, seorang pemuda yang tumbuh dalam beribadah kepada Allah, seorang yang berdzikir kepada Allah dalam keadaan sendiri lalu berlinang air matanya, seorang laki-laki yang hatinya terpaut dengan masjid, dua orang yang saling mencintai karena Allah, seorang lelaki yang dirayu oleh seorang wanita berkedudukan dan berparas cantik lalu ia berkata: sesungguhnya aku takut kepada Allah, seorang yang bersedekah lalu dia menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang dikerjakan oleh tangan kanannya.”
Dan dikeluarkan pula oleh Imam Muslim dalam shohihnya dari ‘Iyyadh bin Himar al-mujasyi’i bahwa Rasululullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
:” أَهْلُ الْجَنَّةِ ثَلَاثَةٌ ذُو سُلْطَانٍ مُقْسِطٌ مُتَصَدِّقٌ مُوَفَّقٌ وَرَجُلٌ رَحِيمٌ رَقِيقُ الْقَلْبِ لِكُلِّ ذِي قُرْبَى وَمُسْلِمٍ وَعَفِيفٌ مُتَعَفِّفٌ ذُو عِيَالٍ “
“Penduduk syurga ada tiga golongan: penguasa yang adil, bersedekah dan mendapat taufik, dan seorang yang pengasih, berhati lembut kepada setiap kerabat dan setiap muslim, seorang yang miskin dan memelihara kehormatannya (merasa cukup dengan apa yang ada),dan memiliki tanggungan keluarga.”
Pemimpin yang adil adalah yang bijaksana dalam kepemimpinannya, dan seorang penguasa yang adil tidak tertolak do’anya sebagaimana yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam sunan-nya dari hadits Abu Hurairoh berkata: bersabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم:
:” ثَلَاثَةٌ لَا تُرَدُّ دَعْوَتُهُمُ الصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ وَالْإِمَامُ الْعَادِلُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ يَرْفَعُهَا اللَّهُ فَوْقَ الْغَمَامِ وَيَفْتَحُ لَهَا أَبْوَابَ السَّمَاءِ وَيَقُولُ الرَّبُّ وَعِزَّتِي لَأَنْصُرَنَّكِ وَلَوْ بَعْدَ حِينٍ “
“Tiga golongan yang tidak ditolak do’anya: orang yang berpuasa hingga dia berbuka, seorang pemimpin yang adil, dan do’anya orang yang terdzalimi, Allah mengangkatnya di atas awan dan membukakan baginya pintu-pintu langit, dan Allah berfirman: “Demi kemuliaan-Ku, aku pasti akan menolongmu kapan saja.”(2)
Mencintai penguasa, memuliakan dan menghormatinya
Sesungguhnya seorang pemimpin negara telah menguras kemampuannya, waktunya untuk memelihara kemaslahatan rakyatnya, dan memberikan berbagai jalan-jalan kemudahan bagi mereka, dan menolak adanya marabahaya dan kejelekan dari mereka dengan izin Allah Azza wajalla. Oleh karenanya, dialah yang memelihara kita, sebagaimana yang telah dikeluarkan Al Bukhari dalam shohihnya dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
” كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ الْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ “
“Kalian semua adalah pemelihara, dan kalian semua akan ditanya tentang peliharaannya, seorang pemimpin akan ditanya tentang rakyatnya.”
Maka wajib bagi kita untuk mengetahui kedudukannya dan menghormatinya, bahkan mencintai apa yang telah dia tegakkan dari berbagai tugas yang berat dan tanggung jawab yang sempurna.Telah dikeluarkan Imam Muslim dalam shohihnya dari ‘Auf bin Malik Al-asyja’i berkata: bersabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم :
:” خِيَارُ أَئِمَّتِكُمِ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ “
“ Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian, kalian mendo’akan mereka dan mereka mendo’akan kalian.”
Barangsiapa yang memuliakan dan menghormati penguasanya, maka Allah akan memuliakannya pada hari kiamat, dan barangsiapa yang tidak memuliakannya, maka Allah akan menghinakannya pada hari kiamat sebagaimana yang dikeluarkan Imam Ahmad dalam musnad- nya dari Abu Bakroh berkata: aku mendengar Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
” مَنْ أَكْرَمَ سُلْطَانَ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فِي الدُّنْيَا أَكْرَمَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فِي الدُّنْيَا أَهَانَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ”.
“Barangsiapa yang memuliakan penguasanya Allah tabaroaka wata’ala di dunia, maka Allah akan memuliakannya pada hari kiamat, dan barangsiapa yang menghinakan penguasanya Allah tabaroka wata’ala di dunia maka Allah akan menghinakannya pada hari kiamat.”(3)
Dan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjelaskan bahwa yang ingin menemui penguasa dalam rangka memuliakannya maka senantiasa dia mendapat jaminan dari Allah Ta’ala sebagaimana yang dikeluarkan Imam Ahmad dalam musnad-nya dari Mu’adz berkata:
” عَهِدَ إِلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي خَمْسٍ مَنْ فَعَلَ مِنْهُنَّ كَانَ ضَامِنًا عَلَى اللَّهِ مَنْ عَادَ مَرِيضًا أَوْ خَرَجَ مَعَ جَنَازَةٍ أَوْ خَرَجَ غَازِيًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَوْ دَخَلَ عَلَى إِمَامٍ يُرِيدُ بِذَلِكَ تَعْزِيرَهُ وَتَوْقِيرَهُ أَوْ قَعَدَ فِي بَيْتِهِ فَيَسْلَمُ النَّاسُ مِنْهُ وَيَسْلَمُ “
“Rasulullah صلى الله عليه وسلم telah menjanjikan kami lima perkara yang barangsiapa yang melakukan salah satu darinya maka senantiasa dia mendapat jaminan keamanan dari Allah: barangsiapa yang mengunjungi orang sakit, atau keluar bersama jenazah, atau keluar berperang di jalan Allah atau menemui seorang imam yang dia ingin memuliakan dan menghormatinya ataukah duduk di rumahnya agar manusia selamat darinya dan diapun selamat.”(4)
Dan adalah para ulama salaf mendatangi penguasa dan menghormatinya,sebagaimana yang diriwayatkan Ad-Darimi dalam musnad-nya dari Mughiroh rahimahullah bahwa dia berkata:
” كُنَّا نَهَابُ إِبْرَاهِيمَ هَيْبَةَ الْأَمِيرِ “
“Sesungguhnya kami segan kepada Ibrohim seperti segannya kami kepada penguasa.”
HORMATNYA ULAMA KEPADA PEMERINTAH BUKAN MENJILAT
Sesungguhnya penghormatan para ulama terhadap penguasa merupakan hal yang sunnah dan merupakan petunjuk salafus sholih –semoga Allah meridhai mereka semua-, berbeda halnya apa yang diseru oleh sebagian orang-orang yang jahil bahwa penghormatan ulama kepada penguasa dengan tujuan mendapatkan kedudukan atau menjilat dihadapan para penguasa.
Berkata para Imam Dakwah:
“diantara yang perlu menjadi perhatian adalah apa yang disangka kebanyakan orang-orang yang jahil dalam hal tuduhan mereka terhadap ahli ilmu dan agama bahwa mereka menjilat, merendahkan kedudukannya, dan meninggalkan kewajiban yang wajib ditegakkannya dari perintah Allah subhanahu wata’ala dan menyembunyikan apa yang mereka ketahui dari kebenaran, dan berdiam diri untuk menjelaskannya. Sementara orang-orang jahil ini tidak tahu bahwa menggunjing ahli ilmu dan agama, dan merusak kehormatan kaum mukminin adalah racun pembunuh, penyakit terpendam, dan dosa yang jelas dan nyata. Allah Ta’ala berfirman:
وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَاناً وَإِثْماً مُبِيناً (الأحزاب:58)
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mu’min dan mu’minat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.”(QS. Al-Ahzab:58)
HUKUMAN BAGI ORANG YANG MENGHINAKAN PENGUASA
Barangsiapa yang merendahkan penguasa, maka sungguh dia telah melepaskan tali kekang Islam dari lehernya, sebagaimana yang dikeluarkan Imam Ahmad dalam musnadnya dari Abu Dzar radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa-alihi wasallam berkhutbah dihadapan kami lalu bersabda:
” إِنَّهُ كَائِنٌ بَعْدِي سُلْطَانٌ فَلَا تُذِلُّوهُ فَمَنْ أَرَادَ أَنْ يُذِلَّهُ فَقَدْ خَلَعَ رِبْقَةَ الْإِسْلَامِ مِنْ عُنُقِهِ “
“Sesungguhnya akan muncul setelahku penguasa, maka janganlah engkau menghinakannya, barangsiapa yang ingin menghinakannya maka sungguh dia telah melepaskan tali kekang Islam dari lehernya.”(5)
Yang dimaksud ribqoh adalah tali yang diletakkan dileher hewan, dan yang dimaksud adalah perjanjian. Berkata Ibnul Atsir: ribqoh asalnya adalah ikatan tali yang diletakkan pada leher binatang ternak atau ditangannya sehingga menahannya, maka digunakan istilah ini kepada Islam, yaitu apa yang seorang muslim mengikat dirinya dengannya berupa ikatan tali Islam, berupa batasan-batasannya, hukum-hukumnya, perintah dan larangannya.”(6)
WAJIB MENDENGAR DAN TAAT KEPADA PENGUASA
Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ (النساء: من الآية59)
“Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS.An-Nisaa:59)
Berkata syeikhul Islam Ibnu Taymiyyah rahimahullah:
” طَاعَةُ اللهِ وَ رَسُوْلِهِ وَاجِبَةٌ عَلَى كُلِّ أَحَدٍ وَ طَاعَةُ وُلَاةِ الأُمُوْرِ وَاجِبَةٌ لِأَمْرِ اللهِ بِطَاعَتِهِمْ “
“Taat kepada Allah dan Rasul-Nya adalah kewajiban bagi setiap orang,dan taat kepada penguasa adalah kewajiban berdasarkan perintah Allah untuk mentaati mereka.”(7)
Berkata Ibnu Katsir rahimahullah (tentang ayat 59 An Nisa’):
“Secara zahir –wallahu a’lam- bahwa ayat ini umum mencakup setiap ulil amri dari para penguasa dan ulama(8)
Dan berkata Imam Nawawi rahimahullah:
”Yang dimaksud dengan ulil amri adalah siapa yang Allah wajibkan untuk mentaatinya dan para pemimpin dan penguasa. Dan ini adalah pendapat mayoritas ulama salaf dan khalaf dari kalangan ahli tafsir, fuqaha dan selainnya.”(9)
Dan berkata As Syaikh Bin Baaz rahimahullah Ta’ala:
”Ayat ini adalah nash tentang wajibnya taat kepada ulil amri, yaitu penguasa dan para ulama, dan telah datang dalam sunnah yang shohih dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjelaskan bahwa ketaatan ini sifatnya harus, dan merupakan kewajiban selama dalam perkara ma’ruf.”(10)
BUTUHNYA MANUSIA KEPADA HAKIM YANG MEREKA DENGAR DAN TAATI
Telah diketahui secara pasti dalam Islam bahwa tidak ada agama kecuali dengan jama’ah, dan tidak ada jama’ah kecuali dengan imamah, dan tidak ada imamah kecuali dengan mendengar dan taat, dan keluar dari ketaatan kepada waliyyul amri termasuk diantara sebab terbesar munculnya kerusakan diberbagai negara, rusaknya para hamba dan penyimpangan dari jalan hidayah dan petunjuk.”(11)
Berkata Al Imam Al Hasan Al Bashri Rahimahullah Ta’ala:
و الله لا يستقيم الدين إلا بولاة الأمر و إن جاروا و ظلموا و الله لما يصلح الله بهم أكثر مما يفسدون
“Demi Allah, tidaklah tegak agama kecuali dengan penguasa, walaupun mereka berbuat kedzaliman, demi Allah apa yang mereka perbaiki lebih banyak daripada kerusakan mereka.”(12)
Berkata Ibnu Rojab Al Hambali Rahimahullah Ta’ala :
”Mendengar dan taat kepada yang mengatur urusan kaum muslimin, padanya terdapat kebahagiaan dunia, dan dengannya akan teratur kemaslahatan para hamba dalam mata pencaharian mereka, dan dengan sikap tersebut akan membantu mereka untuk menegakkan agamanya dan taat kepada robb-nya.”(13)
Dan keluar dari ketaatan kepada penguasa dan memberontak kepadanya dengan perang atau yang lainnya adalah merupakan kemaksiatan dan penympangan dari jalan Allah dan Rasul-Nya, dan menyelisihi keyakinan ahlus sunnah wal jama’ah dan as-salafus sholeh.(14)
TAAT KEPADA PENGUASA BERARTI TAAT KEPADA RASUL صلى الله عليه وسلم
Telah dijelaskan oleh Nabi صلى الله عليه وسلم bahwa mentaati penguasa merupakan bentuk ketaatan kepadanya صلى الله عليه وسلم, sebagaimana yang dikeluarkan Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu dari Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ يَعْصِنِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَمَنْ يُطِعِ الْأَمِيرَ فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ يَعْصِ الْأَمِيرَ فَقَدْ عَصَانِي
“Barangsiapa yang taat kepadaku maka sungguh dia telah taat kepada Allah dan barangsiapa yang durhaka kepadaku maka sungguh dia telah durhaka (bermaksiat) kepada Allah, dan barangsiapa yang mentaati pemimpin maka sungguh dia telah mentaatiku, dan barangsiapa yang durhaka kepada pemimpin maka sungguh dia telah durhaka kepadaku.”
WASIAT NABI صلى الله عليه وسلم AGAR MENDENGAR DAN TAAT KEPADA PEMIMPIN
Bahkan Nabi صلى الله عليه وسلم menjadikan kewajiban mendengar dan taat kepada pemimpin sebagai wasiat Beliau setelah wasiat taqwa kepada Allah azza wajalla, sebagaimana yang diriwayatkan Ad-Darimi dalam sunan-nya dari Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu’anhu berkata: Rasulullah صلى الله عليه وسلم telah menasehati kami dengan nasehat yang sangat menyentuh, yang menyebabkan berlinang air mata kami, dan bergetar hati-hati kami, maka seseorang berkata: wahai Rasulullah, seakan-akan ini merupakan nasehat orang yang hendak berpisah, maka berikanlah kepada kami wasiat, maka Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda :
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ كَانَ عَبْدًا حَبَشِيًّا “
“Aku wasiatkan kepada kalian agar bertaqwa kepada Allah, mendengar dan taat (kepada pemimpin) walaupun dia seorang budak dari habsyi.”(15)
Dan dikeluarkan Imam Muslim dalam shohihnya dari Abu Dzar Radhiyallahu’anhu berkata:
:” إِنَّ خَلِيلِي أَوْصَانِي أَنْ أَسْمَعَ وَأُطِيعَ وَإِنْ كَانَ عَبْدًا مُجَدَّعَ الْأَطْرَافِ “
“Sesungguhnya kekasihku shallallahu alaihi wasallam telah mewasiatkan kepadaku agar aku mendengar dan taat walaupun dia seorang budak yang terpotong bagian-bagian tubuhnya.”
PERINTAH MENDENGAR DAN TAAT DALAM SETIAP KEADAAN
Nabi shallallahu alaihi wasallam memerintahkan untuk senantiasa mendengar dan taat kepada penguasa dalam setiap keadaan, sebagaimana yang dikeluarkan Imam Muslim dalam shohihnya dari Abu Hurairoh Radhiyallahu’anhu berkata: bersabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم :
” عَلَيْكَ السَّمْعَ وَالطَّاعَةَ فِي عُسْرِكَ وَيُسْرِكَ وَمَنْشَطِكَ وَمَكْرَهِكَ وَأَثَرَةٍ عَلَيْكَ “
“Wajib atas kalian mendengar dan taat dalam keadaan sulitmu dan mudahmu, dalam keadaan rajinmu dan terpaksamu, dan mereka merampas hak-hakmu.”
Makna “mansyat” adalah disaat engkau rajin, dan makna “makroh” adalah disaat engkau benci,dan yang dimaksud adalah disaat engkau senang dan marah, sulit dan mudah.
TIDAK BOLEH MENDENGAR DAN TAAT DALAM KEMAKSIATAN
Nabi صلى الله عليه وسلم menjelaskan bahwa mendengar dan taat kepada penguasa adalah wajib selama tidak memerintahkan kepada kemaksiatan. Jika mereka memerintahkan untuk bermaksiat maka tidak boleh didengar dan ditaat dalam kemaksiatan tersebut secara khusus, adapun perintah yang lainnya maka tetap wajib didengar dan ditaati, sebagaimana yang dikeluarkan Imam Bukhari dalam shohihnya dari Abdullah radhiallahu anhu dari Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
” السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ حَقٌّ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ “
“Mendengar dan taat adalah kewajiban atas setiap muslim terhadap apa yang dia senangi dan yang dia benci, selama tidak diperintah untuk berbuat kemaksiatan, maka jika diperintah untuk bermaksiat maka tidak boleh mendengar dan taat.”
Berkata para Ulama: maknanya adalah: wajib mentaati penguasa disaat sulit dan tidak disukai oleh jiwa, dan selainnya selama dalam perkara yang bukan kemaksiatan. Jika berupa kemaksiatan maka tidak boleh mendengar dan taat. Sedangkan makna: “tidak boleh mendengar dan taat” adalah dalam perkara yang diperintahkan berbuat maksiat saja, jika diperintah untuk mengerjakan yang haram, maka wajib untuk tidak mentaatinya dalam perkara tersebut, maka jangan dia menurutinya, sebab taat kepada Allah lebih wajib. Dan jangan difahami bahwa jika diperintah berbuat maksiat maka tidak boleh mendengar dan taat secara mutlak dalam setiap perintahnya, namun dia tetap mendengar dan taat secara mutlak, kecuali dalam kemaksiatan maka tidak boleh mendengar dan taat.(16)
Berkata Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah:
“Jika penguasa memerintahkan dengan suatu perintah, maka tidak terlepas dari tiga keadaan:
Pertama: bahwa itu termasuk yang Allah perintahkan, maka wajib bagi kita mematuhinya, karena adanya perintah Allah terhadapnya, dan perintah mereka pula. Maka jika mereka mengatakan: tegakkanlah sholat, maka wajib atas kita menegakkannya karena mematuhi perintah Allah dan mematuhi perintah mereka. Allah Ta’ala berfirman:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ }
“Wahai orang-orang yang beriman,taatilah Allah dan taatilah rasul-Nya dan ulil amri diantara kalian.”(QS.An-Nisaa: 59).
Keadaan Kedua: mereka memerintahkan dengan sesuatu yang Allah melarangnya, maka dalam keadaan ini kita mengatakan: kami mendengar dan taat kepada Allah dan kami menyelisihi kalian, sebab tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada al-Kholiq, seperti kalau mereka mengatakan: janganlah kalian sholat jama’ah di masjid-masjid, maka kita menjawab: tidak boleh mendengar dan mentaatinya.
Keadaan Ketiga: mereka memerintahkan dengan sesuatu yang tidak terdapat perintah Allah dan Rasul-Nya, dan tidak terdapat pula larangan dari Allah dan Rasul-Nya: maka kita wajib mendengar dan taat. Kita tidak mentaati mereka karena mereka adalah si-ini dan si-itu, namun karena Allah yang memerintahkan kita untuk taat kepadanya, dan Rasulullah صلى الله عليه وسلم memerintahkan hal itu kepada kita. Dimana beliau bersabda:
“اسمع و أطع و إن ضرب ظهرك و أخذ مالك”
“Dengar dan taatlah,walaupun dia memukul punggungmu dan merampas hartamu.”(17)
Dan para shahabat Radhiyallahu’anhum bertanya kepada beliau shallallahu alaihi wasallam tentang para penguasa yang merampas harta mereka dan mengambil hak-hak rakyatnya? Maka beliau menjawab:
عليهم ما حملوا و عليكم ما حملتم
“Mereka menanggung atas perbuatan mereka (atas kedhalimannya), sedangkan kalian menanggung atas apa yang kalian lakukan.”
Dan beliau telah memikulkan kepada kita tanggung jawab untuk mendengar dan taat . (18)
KESALAHAN PENDAPAT YANG MENGATAKAN: TIDAK BOLEH MENDENGAR DAN TAAT KEPADA PEMERINTAH
Diantara manusia ada yang mengatakan: tidak boleh mendengar dan taat kepada pemerintah dengan alasan bahwa hadits-hadits yang disebutkan tentang mendengar dan taat hanyalah pada imam yang menyeluruh (khalifah) bukan yang khusus, dan ini sudah tentu perkataan yang batil yang menyelisishi ijma’ para ahli ilmu.
Berkata syeikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab:
”Para imam dari setiap madzhab sepakat bahwa barangsiapa yang meguasai sebuah negeri, maka dia hukumnya sama dengan hukum imam dalam setiap keadaan, kalau bukan karena hal ini maka urusan dunia tidak akan tegak, sebab manusia semenjak zaman yang berkepanjangan, dari sebelum zaman imam Ahmad hingga zaman kita sekarang ini, mereka tidak sepakat di atas satu imam, namun mereka tidak mengetahui seorangpun dari ulama yang mengatakan bahwa tidak sah hukum apa pun yang diterapkan kecuali bila ada imam yang menyeluruh.”(19)
Berkata Imam Asy-Syaukani:
”Merupakan hal yang dimaklumi bahwa pada setiap wilayah mempunyai penguasa tersendiri, demikian pula diwilayah lainnya, dan tidaklah mengapa bila terdapat beberapa penguasa, dan wajib mentaati setiap dari mereka setelah dibaiat oleh penduduk negeri tersebut yang akan menjalankan perintah dan larangannya, demikian pula penduduk dinegeri yang lain. Barangsiapa yang mengingkari ini maka dia telah mendustakan nash, dan tidak sepantasnya diajak berdialog tentang hujjah sebab dia tidak memahaminya.”(20)
KESALAHAN ORANG YANG MENDUDUKKAN DIRINYA SEPERTI PENGUASA
Diantara manusia ada yang mendudukkan dirinya seperti kedudukan penguasa yang mempunyai kekuatan dan kekuasaan dalam mengatur manusia, maka diapun mengajak sekelompok manusia untuk mendengar dan taat kepadanya, ataukah sekelompok manusia itu membaiatnya untuk mereka dengar dan taati aturannya, padahal dinegeri tersebut ada penguasa yang nampak ditengah mereka !
Tidaklah diragukan lagi bahwa ini merupakan kesalahan besar dan dosa yang berat, barangsiapa yang melakukan ini maka sungguh dia telah menentang Allah dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wasallam, dan menyelisihi nash-nash syari’at, maka tidak wajib mentaatinya bahkan diharamkan, sebab dia tidak punya kekuasaan dan tidak punya kemampuan sama sekali, maka atas dasar apa ucapannya didengar dan ditaati sebagaimana didengar dan ditaatinya penguasa yang tegak dan nampak.
Berkata syeikhul Islam Ibnu Taymiyyah rahimahullah:
“Nabi shallallahu alaihi wasallam memerintahkan untuk mentaati para pemimpin yang ada wujudnya dan diketahui memiliki kekuasaan yang dengannya mereka mampu untuk mengatur manusia, bukan mentaati yang tidak ada wujudnya dan yang majhul, dan juga tidak memiliki kekuasaan dan kemampuan sama sekali.”(21)
KESALAHAN ORANG YANG MENYANGKA BAHWA ATURAN UMUM TIDAK WAJIB DIDENGAR DAN DITAATI
Diantara manusia ada yang mengatakan: seseorang punya hak untuk keluar dari aturan umum yang telah diatur oleh pemerintah, dan tidak wajib terikat dengannya, dan tidak wajib mentaatinya, seperti tanda lalu lintas, pengurusan surat-surat paspor, dan yang lainnya. Dengan alasan bahwa itu tidak dibangun diatas pondasi syari’at, dan mentaati penguasa hanyalah dalam perkara- perkara syari’at saja, adapun dalam perkara yang mubah dan mandub (disukai) maka tidak wajib !!!
Dan tidaklah diragukan bahwa kesalahan ini muncul dari minimnya ilmu yang dimilikinya. Berkata Imam Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah Ta’ala:
“Ini adalah suatu kebatilan dan kemungkaran, bahkan wajib hukumnya mendengar dan taat dalam perkara-perkara tersebut yang tidak ada kemungkaran padanya, Dimana penguasa telah mengaturnya demi kemaslahatan kaum muslimin, wajib tunduk terhadapnya, mendengar dan taat dalam perkara tersebut, sebab ini termasuk perkara yang ma’ruf yang memberi manfa’at kepada kaum muslimin.”(22)
Berkata Al-Allamah Al-Mubarakfuri:
“seorang pemimpin jika memerintahkan kepada perkara yang mandub dan mubah maka wajib (ditaati).”(23)
KESALAHAN ORANG YANG MENYANGKA BAHWA BOLEH BERPEGANG KEPADA DUA BAIAT
Sebagian manusia ada yang menyangka bahwa boleh baginya berpegang kepada dua baiat : baiat untuk penguasa muslim, dan baiat untuk pemimpin kelompoknya. Tidaklah diragukan bahwa ini merupakan kesalahan yang besar.
Berkata syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah:
“Tidak boleh bagi seseorang memegang dua baiat, baiat untuk penguasa yang menyeluruh disebuah negeri, dan baiat untuk pemimpin kelompok yang dia berloyal kepadanya. Sementara Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda terhadap para musafir yang berjumlah tiga orang: “Hendaklan mereka mengangkat pemimpin salah seorang dari mereka.”, bukan berarti bahwa mereka berbaiat kepadanya, namun ini bermakna bahwa bagi suatu kumpulan manusia haruslah ada seseorang yang yang menjadi pemberi keputusan diantara mereka agar mereka tidak berselisih. Hal ini menunjukkan bahwa perselisihan, sepantasnya bagi kita berusaha untuk menutup pintunya dari setiap jalan.”(24)
KESALAHAN ORANG YANG MENYANGKA BAHWA DIA TIDAK WAJIB MENDENGAR DAN TAAT KARENA DIA TIDAK PERNAH BERBAIAT KEPADA PENGUASA
Sebagian manusia ada yang mengatakan: saya tidak pernah membaiat penguasa tersebut maka saya tidak wajib mendengar dan taat !. Tidak diragukan lagi bahwa ini adalah ucapan ngawur dan bodoh.
Berkata syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah rahimahullah:
“Apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wasallam dari ketaatan kepada penguasa dan menasehati mereka adalah perkara yang wajib atas setiap manusia, walaupun dia tidak pernah mengikat perjanjian (baiat) kepadanya, dan walaupun dia tidak bersumpah dengan berbagai sumpah yang menekankan.”(25)
Dan berkata Syaikh Bin Baaz:
”Jika kaum muslimin telah bersepakat diatas satu pemimpin, maka wajib secara keseluruhan untuk taat kepadanya, walaupun dia tidak secara langsung membaiatnya. Para shahabat dan kaum muslimin mereka tidak membaiat Abu Bakar, namun yang membaiatnya adalah penduduk Madinah, maka baiat tersebut berkonsekwensi bagi seluruhnya.”(26)
PANGGILAN JIHAD MERUPAKAN KEKHUSUSAN PENGUASA
Jihad merupakan kekhususan yang paling agung dan yang terbesar dari kekhususan yang dimiliki penguasa. Maka bila setiap individu boleh menyerukannya maka akan membuat kekacauan. Maka kapan manusia, para ulama, atau para penuntut ilmu diperkenankan menyeru kepada jihad ? Jawabannya adalah apabila penguasa telah menyerukannya. Allah Ta’ala berfirman:
{ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَال }
“Berilah semangat kepada kaum mukminin untuk berperang.”(QS.al-anfal:65)
Maka kaum mukminin mengikuti penguasa dalam hal ini.(27)
MELAKUKAN QUNUT DIMASJID HARUS DENGAN IZIN PENGUASA
Qunut merupakan hal yang dianjurkan dan bukan wajib hukumnya. Nabi صلى الله عليه وسلم melakukan qunut dalam satu tragedi dan meninggalkan qunut ketika terjadi tragedi yang lain. Dan madzhab ahlul hadits serta pendapat Imam Ahmad dan yang dipilih oleh Syaikh Ibnu Utsaimin: bahwa qunut hanyalah bagi penguasa tertinggi, dan wakil imam boleh qunut dengan idzinnya menurut salah satu riwayat dari Imam Ahmad.
Dan Jumhur ulama berhujjah bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم hanyalah qunut dimasjidnya yang paling besar dan masjid lain di Madinah tidak melakukan qunut, demikian pula di masa Umar, beliau qunut dan masjid lain tidak melakukannya.”(28)
PENGUASA BERHAK MELARANG SEORANG ALIM UNTUK MENGAJAR
Berkata syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah: ”Jika penguasa memandang untuk menyuruh salah seorang diantara kita untuk diam dan mengatakan: kamu jangan berbicara, maka ini adalah udzur di sisi Allah untuk saya tidak berbicara sebagaimana yang dia perintahkan kepadaku, sebab menjelaskan kebenaran hukumnya adalah fardhu kifayah, tidak terkhusus hanya kepada si Zaid atau Amr, sebab kalau kita menyandarkan kebenaran kepada individu tertentu, maka kebenaran akan mati dengan matinya orang tersebut. Namun kebenaran tidaklah disandarkan kepada individu tertentu. Anggaplah mereka melarang saya dengan mengatakan: jangan kamu berbicara, jangan kamu berkhutbah, jangan kamu menjelaskan pelajaran, maka saya mendengar dan taat. Maka ketika saya pergi sholat, jika mereka izinkan saya untuk menjadi imam maka saya menjadi imam. Dan jika mereka mengatakan: jangan kamu mengimami manusia, maka akupun tidak mengimaminya dan cukup menjadi makmum, sebab hak tersebut telah didirikan oleh yang lain, dan bukan berarti bahwa jika mereka melarangku, berarti telah melarang semua manusia. Dan kami memiliki contoh dalam hal ini, dimana Ammar bin Yasir radhiallahu’anhu memberitakan dari Rasul Shallallahu alaihi wasallam bahwa beliau memerintahkan orang yang sedang junub untuk bertayammum, sedangkan Umar bin Khattab tidak memandang demikian, lalu Umar memanggilnya suatu hari lalu berkata: hadits yang engkau sampaikan kepada manusia bahwa orang junub bertayammum apabila tidak mendapatkan air? Maka dia menjawab: apakah engkau tidak mengingat ketika Nabi shallallahu alaihi wasallam mengutusku bersamamu dalam satu kebutuhan, lalu aku dalam keadaan junub, maka akupun berguling-guling di tanah. Lalu aku mendatangi Nabi shallallahu alaihi wasallam dan aku mengabarkannya dan beliau menjawab:”cukuplah bagimu berbuat dengan tanganmu demikian, lalu beliau mengajarkan tayammum. Akan tetapi wahai amirul mukminin, Sesungguhnya Allah telah mewajibkan atasku untuk taat kepadamu, maka jika engkau melihat untuk aku tidak memberitakannya, maka saya melakukannya.”
Allahu akbar, shahabat yang mulia menahan diri untuk memberitakan hadits dari Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam karena adanya perintah khalifah yang wajib ditaati, Namun Umar berkata kepadanya: tidak, aku tidak mencegahmu, tapi aku menyerahkan hal tersebut kepadamu.”
Maka jika penguasa memandang untuk melarang kaset-kaset Ibnu Utsaimin, ataukah kaset Ibnu Baaz, atau kaset yang lainnya, maka kami tidak menolak diri. Adapun kalau kita hendak menjadikan adanya prosedur semacam ini untuk membangkitkan emosi masyarakat, terkhusus para pemuda, untuk menjadikan hati mereka benci kepada penguasanya, maka ini –demi Allah wahai saudaraku- merupakan kemaksiatan, dan merupakan salah satu faktor terbesar yang menimbulkan fitnah dikalangan manusia. Dan negeri kita (saudi) –sebagaimana yang telah kalian ketahui- merupakan negeri kecil, ruang lingkupnya kecil, yang di dalamnya terdapat jutaan kampung yang terpisah dan kabilah yang berbeda, kalau bukan karena Allah Azza wajalla menganugerahi kita dengan disatukannya kalimat diatas kekuasaan Abdul Aziz bin Su’ud, maka kita telah berpecah dan saling membunuh. Di negeri ini, salah satu dari orang tua kami mengabarkan kepadaku bahwa dahulu di bulan Ramadhan, mereka tidak keluar untuk sholat tarawih kecuali apabila setiap mereka membawa senjata disebabkan rasa takut yang terjadi di tengah negeri, adapun sekarang sudah dalam keadaan aman, apa persangkaan kalian jika hal ini berubah –semoga Allah tidak mentaqdirkannya-, apakah masih ada rasa aman seperti ini?. Sekarang ini seseorang tatkala keluar dalam keadaan mobilnya dipenuhi barang-barang berharga, apabila telah dikumandangkan adzan maghrib, dia turun sholat sedangkan mobilnya diletakkan di marmal hajar(29) atau didekatnya, dan dia tidak takut kecuali hanya kepada Allah. Mengapa kita tidak menghargai rasa aman ini? Mengapa kita tidak mengetahui bahwa jika hati manusia dalam keadaan saling membenci, maka rasa aman menjadi hilang dan manusia menjadi kalap.
Walaupun mereka melarang kaset si fulan dan fulan, tidak masalah, dan kita tetap mengatakan: kami memohon kepada Allah agar memberi hidayah kepada mereka. Apakah kita lebih berilmu, lebih faqih, lebih mengerti tentang agama daripada Imam Ahmad. Beliau dipukuli dan bahkan diseret dengan baghlah(30), dipukul dengan cambuk sehingga beliau tidak sadarkan diri. Namun beliau tetap mengatakan: jikalau sekiranya aku memiliki do’a yang mustajab, maka aku akan menujukannya untuk penguasa. Dan beliau tetap memanggil khalifah Ma’mun dengan sebutan Amirul mukminin, dalam keadaan Makmun menyeru kepada bid’ah yang besar, yaitu berpendapat bahwa Al-Qur’an makhluk, bahkan keyakinan ini mereka ajarkan disekolah. Lalu bagaiman jika kita melihat hal tersebut ada pada penguasa kita? Apakah kalian mengetahui dari mereka(31) bahwa mereka mengajak kepada bid’ah lalu mengatakan: barangsiapa yang menentang kami maka kami akan membunuhnya, atau memenjarakannya, atau memukulnya? Aku tidak mengetahui adanya hal tersebut!
Sesunggunya ikhwan yang meributkan hal-hal seperti ini, mereka tidak membantu kecuali kepada sekularisme, apakah kaum sekuler sekarang ini senang negeri kita tetap ada? Tidak, sebab mereka tidak menghendaki Islam, mereka menginginkan negara komunis yang mensederajatkan setiap orang apakah dia yahudi, nashrani, penyembah berhala, ataukah muslim. Mereka senang bila penguasa negeri marah terhadap kalian dengan adanya selentingan seperti ini, sehingga mereka menghukum kalian, lalu mereka (rakyat) pun hendak menyikapi pemerintahnya, sebab masyarakat umum apabila hati mereka tidak senang kepada penguasanya, maka mereka membencinya dan marah kepadanya lalu berusaha menjatuhkan tahtanya dengan kekuatan, lalu mereka sendiri yang hendak menerapkan hukum setelah (runtuhnya kekuasaan sebelumnya) –semoga Allah tidak mentakdirkannya-. Perhatikanlah sekarang munculnya berbagai gejolak di Mesir, Irak, Syam, apa yang dialami kaum muslimin, apakah berubah keadaan mereka dari kejelekan menuju arah yang lebih baik, ataukah dari kejelekan kearah yang lebih jelek? Para pemuda yang yang bangkit amarah mereka dengan sebab perkara-perkara ini, mereka telah membantu kaum sekuler dengan bantuan gratis secara tidak langsung.”(32)
WAJIB ILTIZAM KEPADA JAMA’AH
Sungguh Nabi Shallallahu alaihi wasallam telah menganjurkan untuk beriltizam (komitmen) kepada penguasa, dan tidak memberontak atasnya, sebagaimana yang dikeluarkan Imam Al Bukhari dalam shohih-nya dari Hudzaifah bin Yaman bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم berkata kepadanya tentang zaman kejahatan dan fitnah:
“Hendaklah engkau komitmen terhadap jama’ah kaum muslimin dan pemimpinnya.”
Hal itu disebabkan karena penguasa adalah perisai dan pelindung bagi siapa yang bersamanya, sebagaimana yang dikeluarkan Imam Al Bukhari dan Muslim dalam shohih kedua nya dari Abu Hurairoh رضي الله عنه bahwa Nabi صلى الله عليه وآله وسلم bersabda:
:” إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ وَعَدَلَ فَإِنَّ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرًا وَإِنْ قَالَ بِغَيْرِهِ فَإِنَّ عَلَيْهِ مِنْهُ”
“Sesungguhnya pemimpin itu adalah perisai, yang (suatu kaum) berperang dibelakangnya dan membentengi diri dengannya, Maka jika dia memerintahkan untuk bertaqwa kepada Allah dan berbuat adil, maka sesungguhnya dia mendapatkan pahala atas perbuatannya itu, namun jika dia berbuat yang lain, maka dia mendapat dosa.”
PENGUASA ADALAH PEMELIHARA, DAN DIA SEBAGAI WALI BAGI YANG TIDAK MEMILIKI WALI
Telah dijelaskan oleh Nabi صلى الله عليه وآله وسلم bahwa penguasa adalah pemelihara kita, dan kita merupakan peliharaannya, sebagaimana yang dikeluarkan Imam Al Bukhari dalam shohihnya dari Ibnu Umar رضي الله عنهما bahwa Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم bersabda:
:” كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ الْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ “
“setiap kalian adalah pemelihara, dan setiap kalian bertanggung jawab atas peliharaannya, seorang Imam adalah pemelihara, dan bertanggung jawab atas peliharaannya.”
Dan beliau صلى الله عليه وآله وسلم , menjelaskan bahwa siapa yang tidak mempunyai wali, maka penguasa adalah walinya, sebagaimana yang dikeluarkan Ibnu Majah dalam sunan-nya dari Aisyah رضي الله عنها berkata: bersabda Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم :
“السُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ “.
“Penguasa adalah wali bagi orang yang tidak mempunyai wali.” (33)
WAJIB MEMULIAKAN DAN MENGHORMATI PEMIMPIN, DAN HARAMNYA MERENDAHKAN DAN MENGHINAKANNYA
Nabi صلى الله عليه وآله وسلم menjelaskan bahwa penguasa adalah wajib dimuliakan dan dihormati, dan diharamkan merendahkan dan menghinakannya. Sebagaimana yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam musnad-nya dan Tirmidzi dalam ”sunan” dari Ziyad bin Kusaib Al-Adawi berkata: aku pernah bersama Abu Bakroh dibawah mimbar Ibnu Amir dalam keadaan beliau sedang berkhutbah, memakai pakaian yang halus. Maka dia berkata Abi Bilal: lihatlah pemimpin kita, dia memakai pakaian orang fasiq. Maka Abu Bakroh berkata: diam kamu. Sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم bersabda:
مَنْ أَكْرَمَ سُلْطَانَ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فِي الدُّنْيَا أَكْرَمَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فِي الدُّنْيَا أَهَانَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ”.
”Barangsiapa yang memuliakan penguasa Allah تبارك وتعالى di dunia, maka Allah akan memuliakannya pada hari kiamat, dan barangsiapa yang menghinakan penguasa Allah تبارك وتعالى didunia, maka Allah akan menghinakannya pada hari kiamat.”(34)
Maka perhatikanlah, bagaimana Abu Bakroh رضي الله عنه menganggap sikap mencela dan menjelekkan penguasa termasuk menghinakannya. Imam Adz-Dzahabi rahimahullah mengomentari kisah ini dengan mengatakan: Abu Bilal ini seorang khawarij, dan termasuk kejahilannya, dia menganggap pakaian halus seseorang sebagai pakaian orang yang fasiq.(35)
PERINTAH UNTUK BERSABAR,LARANGAN DARI MENINGGALKAN KETAATAN KEPADA PENGUASA
Sebagaimana Nabi صلى الله عليه وآله وسلم memerintahkan untuk bersabar dan melarang dari melepaskan ketaatan (dalam perkara ma’ruf), walaupun dia melihat penguasa tersebut melakukan kemaksiatan, sebagaimana yang dikeluarkan Imam Muslim dalam shohihnya dari ‘Auf bin Malik berkata: telah bersabda Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم :
:” مَنْ وَلِيَ عَلَيْهِ وَالٍ فَرَآهُ يَأْتِي شَيْئًا مِنْ مَعْصِيَةِ اللَّهِ فَلْيَكْرَهْ مَا يَأْتِي مِنْ مَعْصِيَةِ اللَّهِ وَلَا يَنْزِعَنَّ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ “
“Barangsiapa yang memimpinnya, lalu dia melihat dia melakukan kemaksiatan kepada Allah, maka hendaklah dia membenci apa yang dia kerjakan dari maksiat kepada Allah dan jangan dia melepaskan diri dari ketaatan kepadanya (dalam hal yang ma’ruf)”
Dan dikeluarkan Imam Muslim dalam shohihnya dari Ibnu Abbas رضي الله عنهما dari Nabi صلى الله عليه وآله وسلم bersabda:
مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ مِنَ النَّاسِ خَرَجَ مِنَ السُّلْطَانِ شِبْرًا فَمَاتَ عَلَيْهِ إِلَّا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa yang melihat dari pemimpinnya sesuatu yang dibencinya, maka hendaklah dia bersabar, karena tidaklah seseorang keluar dari penguasa walapun sejengkal, melainkan dia mati seperti matinya kaum jahiliyyah.”
Dan Imam Al Bukhari mengeluarkan dalam tarikh-nya dari Wa’il bahwa dia bertanya kepada Nabi صلى الله عليه وآله وسلم : bagaimana jika kami memiliki pemimpin yang tidak mengamalkan ketaatan? Beliau صلى الله عليه وآله وسلم menjawab:
“Mereka bertanggungjawab atas apa yang mereka pikul dan kalian pun bertanggung jawab atas apa yang kalian pikul”
Dan Imam Muslim mengeluarkan dalam shohihnya dari Hudzaifah bin Yaman رضي الله عنه bahwa Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم bersabda:
:” يَكُونُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ
“Akan muncul setelahku para pemimpin yang tidak mengambil petunjuk dari petunjukku dan tidak mengikuti sunnahku,dan akan tegak diantara mereka orang-orang yang hatinya adalah hati syetan dalam jasad manusia.”Aku bertanya, “apa yang akan aku lakukan wahai Rasulullah jika aku menemukan yang demikian.” Beliau menjawab: ”engkau mendengar dan taat kepada pemimpin walaupun dia memukul punggungmu dan mengambil hartamu, maka dengar dan taatlah.”
Maka perhatikanlah hadits yang agung ini yang kebanyakan manusia lari darinya,dimana Rasul صلى الله عليه وآله وسلم memerintahkan untuk taat kepada pemimpin walaupun pemimpin itu mendzaliminya dengan merampas harta dan memukul punggung. Maka bagaimana keadaan manusia yang tidak punya kesabaran dan ketaatan, pada mereka belum sampai kepada kondisi demikian ini –Walhamdulillah- bahkan demi Allah mereka dalam keadaan mendapatkan nikmat yang besar dan anugerah yang luar biasa.
BERSABAR DARI KEDZALIMAN PENGUASA TERMASUK PRINSIP DAKWAH SALAFIYYAH
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah : ”Bersabar terhadap kedzaliman penguasa adalah salah satu prinsip dari prinsip ahlus sunnah wal jama’ah”(36)
Dan ini benar, sebab perintah untuk bersabar terhadap kedzaliman penguasa dan penganiayaan mereka mendatangkan kemaslahatan dan menolak adanya kemudhoratan, juga menjadi kebaikan bagi hamba dan negara.
Berkata Ibnu Taimiyyah: “Apa yang terdapat pada kedzaliman mereka dan melampaui batas, apakah dengan penakwilan yang dibenarkan atau tidak, maka tidak boleh dihilangkan dengan sesuatu yang mendatangkan kedzaliman dan melampaui batas pula, sebagaimana kebiasaan kebanyakan manusia yang menghilangkan kejahatan dengan mendatangkan sesuatu yang lebih jahat, dan menghilangkan permusuhan dengan sesuatu yang lebih mendatangkan permusuhan, maka keluar dari ketaatan terhadap mereka menyebabkan kedzaliman dan kerusakan yang lebih dahsyat dari kedzaliman penguasa itu sendiri, maka hendaklah bersabar atasnya sebagaimana halnya sikap sabar ketika beramar ma’ruf nahi munkar atas kedzaliman yang diperintah dan yang dilarang dalam banyak nash.”(37)
Berkata Syaikh Bin Baaz: “Keluar dari penguasa menyebabkan kerusakan yang besar, dan kejahatan yang dahsyat, yang menyebabkan rasa aman menjadi hilang, dan terabaikan hak-hak, sehingga tidak memungkinkan untuk menghentikan kelakuan orang yang dzalim dan menolong yang terdzalimi.”(38)
Dan berkata para imam dakwah: ”Apa yang dilakukan oleh para penguasa dari berbagai kemaksiatan dan penyelisihan syari’at yang tidak menyebabkan kekafiran dan keluar dari Islam, maka wajib menasehati mereka dengan cara yang syar’i dengan lemah lembut, dan mengikuti apa yang telah diamalkan salafus soleh dengan tidak menjelek-jelekkan mereka di berbagai majelis dan kumpulan manusia, lalu meyakini bahwa yang demikian itu termasuk dari nahi mungkar yang diingkari oleh setiap hamba. Ini adalah kesalahan fatal, dan kejahilan yang nampak, orang yang mengatakannya tidak mengetahui akibat dari perbuatan tersebut berupa kerusakan yang besar baik dalam dunia dan agama, sebagaimana yang telah diketahui hal tersebut oleh orang yang mendapatkan penerangan hati dari Allah dan mengenal metode salafus shaleh dan para pemimpin agama.”(39)
Tatkala sebagian para ulama hendak melepaskan ketaatan dari kekuasaan khalifah al-Watsiq dengan sebab fitnah pernyataan “Al-qur’an itu makhluk”, Imam Ahmad mencegahnya dan mendebat sikap tersebut dan mengatakan: ”Hendaklah kalian mengingkarinya dengan hati-hati kalian, jangan kalian melepaskan ketaatan, dan memecahkan tongkat (persatuan) kaum muslimin, jangan kalian tumpahkan darah kalian dan darah kaum muslimin, darah kaum muslimin bersama kalian, hendaklah kalian memandang akibat perbuatan kalian, bersabarlah sampai merasa tenang orang yang baik, dan diistirahatkan dari orang yang fajir, dan bukanlah hal ini –yaitu melepaskan ketaatan dari penguasa – dibenarkan, ini menyelisihi atsar.”
Sebagian mereka ada yang mengatakan: “Sesungguhnya kami mengkhawatirkan atas anak-anak kami jika perkara ini semakin nampak, dan mereka tidak mengetahui selainnya, sehingga Islam menjadi hilang dan terhapus.”(40)
Maka Imam Ahmad mengatakan kepada mereka:
كلا إن الله عز و جل ناصر دينه و إن هذا الأمر له رب ينصره و إن الإسلام عزيز منيع
”Sekali-kali tidak, sesungguhnya Allah عز وجل menolong agamanya, dan sesungguhnya perkara ini, ada Robb yang akan menolongnya, dan sesungguhnya Islam itu mulia dan terbentengi.”
Maka mereka keluar dari Abu Abdillah (Imam Ahmad), dan beliau tidak menjawab mereka sedikitpun dari perkara yang mereka inginkan melainkan beliau melarang dari perbuatan tersebut , dan membantah mereka untuk senantiasa mendengar dan taat sampai Allah menyelamatkan umat ini darinya, namun mereka tidak menerimanya.(41)
Berkata Al-Allamah Imam Abdul Latif aalus syaikh rahimahullah :
“Mayoritas para pemimpin Islam dari masa Yazid bin Mu’awiyah, kecuali Umar bin Abdil Aziz dan siapa yang Allah kehendaki dari Bani Umayyah, telah terjadi dari mereka berbagai tindakan kelancangan, peristiwa yang besar, keluar dari ketaatan, kerusakan dalam kekuasaan kaum muslimin. Namun sejarah para imam, tokoh-tokoh, para pembesar Islam yang mulia adalah hal yang ma’ruf dan masyhur, mereka tidak melepaskan baiat dari mentaati sesuatu yang Allah dan Rasul-Nya perintahkan dari syari’at Islam. Tidak diketahui bahwa ada seseorang dari kalangan para imam yang melepaskan baiat dari ketaatan, dan tidak berpandangan bolehnya memberontak atas mereka.”(42)
BARANGSIAPA YANG MELEPAS KETAATANNYA, TIDAK ADA HUJJAH BAGINYA PADA HARI KIAMAT
Nabi صلى الله عليه وسلم telah menjelaskan bahwa barangsiapa yang melepaskan baiat taatnya, maka tidak ada hujjah baginya pada hari kiamat, dan keadaan matinya seperti matinya kaum jahiliyyah, sebagaimana yang dikeluarkan Imam Ahmad dalam musnadnya dari Ibnu Umar رضي الله عنهما berkata : bersabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم :
:” مَنْ خَرَجَ مِنَ الطَّاعَةِ وَفَارَقَ الْجَمَاعَةَ فَمَاتَ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً “
“Barangsiapa yang melepaskan baiatnya dari ketaatan, maka dia tidak memiliki hujjah pada hari kiamat, dan barangsiapa yang mati dalam keadaan dia memisahkan diri dari jama’ah maka dia mati seperti matinya kaum jahiliyyah”(43)
Berkata Ibnu Abi Jamroh: ”Yang dimaksud memisahkan diri adalah berusaha melepaskan baiat yang telah sah dari seorang pemimpin, walau sekecil apapun, maka beliau menggunakan kata kiasan dengan “sejengkal”, sebab melakukan hal tersebut mengakibatkan tertumpahnya darah tanpa haq”.
Berkata Al-Hafidz: “Yang dimaksud dengan kematian ala jahiliyyah, adalah keadaan matinya seperti matinya kaum jahiliyyah diatas kesesatan dimana ia tidak memiliki seorang pemimpin yang ditaati, sebab mereka tidak mengenal itu, dan bukanlah yang dimaksud bahwa dia mati dalam keadaan kafir, namun dia mati dalam keadaan bermaksiat.(44)
BARANGSIAPA YANG MELEPASKAN KETAATANNYA, TERMASUK ORANG YANG MENGKHIANATI JANJI PADA HARI KIAMAT
Barangsiapa yang melepaskan ketaatannya, maka dia termasuk diantara orang yang ingkar janji pada hari kiamat, sebagaimana yang dikeluarkan Imam Bukhari dalam shohih-nya dari Nafi’ berkata: tatkala penduduk Madinah melepaskan ketaatannya dari Yazid bin Mu’awiyah, Ibnu Umar mengumpulkan para pelayan dan anak-anaknya, lalu berkata: sesungguhnya aku mendengar Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
“Dipasang bendera bagi setiap yang mengkhianati janji pada hari kiamat”
Dan sesungguhnya kita telah membaiat orang ini (maksudnya Yazid bin Muawiyah,pen) diatas baiat Allah dan Rasul-Nya, dan sesungguhnya aku tidak mengetahui pengkhianatan yang lebih besar dari seseorang yang telah dibaiat diatas baiat Allah dan Rasul-Nya, lalu ditegakkan peperangan terhadapnya. Dan sesungguhnya aku tidak mengetahui seorangpun dari kalian yang melepaskan baiat dan tidak membaiat pemimpin ini melainkan itu adalah pemutus hubungan antaraku dengan dia.
Berkata al-Hafidz Ibnu Hajar: “Dalam hadits ini menunjukkan wajibnya mentaati pemimpin yang telah dtetapkan padanya baiat, dan larangan melakukan pemberontakan terhadapnya walaupun dia dzalim dalam hukumnya, dan sesungguhnya tidak terlepas (ketaatan) dengan sebab adanya kefasikan.”(45)
HUKUMAN BAGI YANG MEMBAIAT PENGUASA KARENA DUNIA, JIKA DIA DIBERI MAKA DIA MEMBAIAT, DAN JIKA TIDAK DIBERI MAKA DIA TIDAK MEMBAIAT
Nabi صلى الله عليه وسلم menjelaskan bahwa yang membaiat penguasa karena dunia, jika diberi dia menyempurnakan baiatnya, dan jika tidak maka dia tidak menyempurnakan baiatnya, maka Allah tidak akan berbicara dengannya, tidak memperhatikannya, dan tidak mensucikannya, dan baginya adzab yang pedih. Sebagaimana yang telah dikeluarkan oleh Imam Bukhari dalam shohih-nya dari Abu Hurairoh Radhiyallahu ‘anhu berkata: telah bersabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم :
ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ رَجُلٌ عَلَى فَضْلِ مَاءٍ بِطَرِيقٍ يَمْنَعُ مِنْهُ ابْنَ السَّبِيلِ وَرَجُلٌ بَايَعَ رَجُلًا لَا يُبَايِعُهُ إِلَّا لِلدُّنْيَا فَإِنْ أَعْطَاهُ مَا يُرِيدُ وَفَى لَهُ وَإِلَّا لَمْ يَفِ لَهُ وَرَجُلٌ سَاوَمَ رَجُلًا بِسِلْعَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ فَحَلَفَ بِاللَّهِ لَقَدْ أَعْطَى بِهَا كَذَا وَكَذَا فَأَخَذَهَا”.
“Tiga golongan yang Allah tidak berbicara dengan mereka, Allah tidak memandang mereka, dan tidak mensucikan mereka, dan bagi mereka azab yang pedih: seseorang memiliki kelebihan air di sebuah jalan, yang dia mencegah ibnu sabil dari mengambilnya. Dan seseorang yang membaiat seorang (pemimpin), dia tidak membaiatnya kecuali hanya karena dunia, jika dia diberi apa yang dia inginkan maka dia menyempurnakan baiatnya, dan jika tidak maka dia tidak menyempurnakannya. Dan seseorang yang menjual barang dagangannya setelah ashar ,lalu dia bersumpah dengan nama Allah ,sungguh dia telah memberi seharga demikian, maka dia pun mengambilnya.”
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahumullah : “Barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya dengan menaati pemerintahnya karena Allah, maka pahalanya di sisi Allah, dan barangsiapa yang tidak taat kepadanya kecuali sebatas apa yang diperolehnya dari kekuasaan dan harta, jika mereka memberi maka diapun mentaatinya, dan jika mereka enggan memberi maka dia pun membangkang, maka dia tidak akan mendapat bagiannya di akhirat.”(46)
PERINTAH BERSABAR WALAUPUN MEREKA LEBIH MEMENTINGKAN HAKNYA DAN MENCEGAH HAK RAKYAT
Nabi صلى الله عليه وسلم telah menjelaskan bahwa suatu saat nanti akan terjadi atsaroh, yang artinya adalah memonopoli sesuatu terhadap sesuatu yang lain yang memiliki hak padanya. Dan Nabi صلى الله عليه وسلم tidak memerintahkan kita untuk keluar dari ketaatan kepadanya atau membangkang dari perintahnya, bahkan beliau memerintahkan untuk tetap menunaikan kewajibannya. Sebagaimana yang dikeluarkan Imam Bukhari dalam shohihnya dari Abdullah berkata: Rasulullah صلى الله عليه وسلم berkata kepada kami:
إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ بَعْدِي أَثَرَةً وَأُمُورًا تُنْكِرُونَهَا قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَدُّوا إِلَيْهِمْ حَقَّهُمْ وَسَلُوا اللَّهَ حَقَّكُمْ “
“Sesungguhnya kalian akan melihat setelahku atsaroh, dan perkara-perkara yang kalian ingkari.” (para shahabat) bertanya: “Lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: ”Tunaikan kewajiban kalian untuk mereka, dan mintalah kepada Allah hak kalian (yang dirampas oleh mereka).”
Ucapan “perkara-perkara yang kalian ingkari”, maksudnya adalah dalam urusan agama.
Berkata Imam Nawawi Rahimahullah: “Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk senantiasa mendengar dan taat, walaupun pemimpin tersebut dzalim dan melampaui batas, maka diberi haknya berupa ketaatan dan tidak keluar darinya, dan tidak melepaskan (baiat) kepadanya, namun dia berdo’a kepada Allah agar menghilangkan gangguannya dan menolak kejahatannya dan memperbaikinya.”(47)
HUKUM PEMERINTAH YANG BERHUKUM DENGAN SELAIN YANG DITURUNKAN ALLAH
Berkata Syaikh Bin Baaz Rahimahullah : barangsiapa yang berhukum dengan selain yang diturunkan Allah, maka tidak keluar dari empat perkara:
1. Siapa yang berkata: “Saya berhukum dengannya, karena lebih afdhal dari syari’at Islam,” maka orang ini kafir dengan kufur akbar (mengeluarkan dari Islam).
2. Barangsiapa yang berkata: “Saya berhukum dengannya, karena seperti syari’at Islam, maka berhukum denganya boleh dan dengan syari’at Islam pun boleh,” maka orang ini kafir dengan kufur akbar.
3. Dan siapa yang berkata: “Saya berhukum dengan ini, dan berhukum dengan syari’at Islam lebih afdhal, namun boleh berhukum dengan selain dari apa yang diturunkan Allah,” maka dia kafir dengan kufur akbar.
4. Dan siapa yang berkata: “Saya berhukum dengannya, dan saya yakin bahwa berhukum dengan selain dari apa yang diturunkan Allah tidak boleh,” dan dia berkata pula: “Berhukum dengan syari’at Islam labih afdhal, dan tidak boleh berhukum dengan selainnya.” Namun dia terlalu memudah-mudahkan, atau dia melakukannya karena perintah dari penguasanya, maka dia kafir dengan kufur asghar dan tidak mengeluarkan dari agama, dan dia dianggap melakukan dosa yang paling besar.(48)
MENDOAKAN KEBAIKAN UNTUK PENGUASA TERMASUK DARI NASEHAT
Menasehati penguasa termasuk diantara perkara agama yang terpenting, sebagaimana yang dikeluarkan Imam Muslim dalam shohih-nya dari Tamim Ad-Dari bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda :
الدِّينُ النَّصِيحَةُ قُلْنَا لِمَنْ قَالَ لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ “
“Agama itu nasehat,” kami bertanya: “Bagi siapa?” Beliau menjawab: “Bagi Allah, kitab-Nya ,Rasul-Nya, dan bagi pemimpin kaum muslimin dan seluruh kaum muslimin.”
Diantara konsekwensi nasehat terhadap penguasa adalah mencintainya, mentaatinya, dan mendoakan kebaikan untuknya.
Berkata Imam Ibnu Rojab: ”Nasehat bagi para pemimpin kaum muslimin adalah mencintai agar mereka menjadi baik, terbimbing dan adil, dan mencintai bersatunya umat diatas kepemimpinannya, dan membenci terpecahnya umat dari mereka. Dan ketaatan kepada mereka adalah menjadi bagian agama, sebagai ketaatan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala , dan membenci orang yang keluar dari ketaatan terhadap mereka. Dan senang memuliakan mereka adalah bagian ketaatan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.(49)
Berkata Syaikh Bin Baaz: “Diantara konsekwensi baiat adalah menasehati penguasa, dan diantara bentuk nasehat adalah mendo’akannya agar diberi taufik dan hidayah, dan kebaikan dalam niat dan amalan, dan mendapatkan penasehat yang baik.”(50)
Para ulama salaf sangat berupaya dan menganjurkan untuk mendo’akan penguasa agar diberi kebaikan dan kesolehan. Fudhail bin ‘Iyyadh berkata:
“Kalaulah sekiranya aku diberi do’a yang terkabul, maka aku tidak berdo’a kecuali untuk kebaikan penguasa.” Lalu ada yang bertanya kepada Fudhail: “Jelaskan kepada kami hal ini?” Berkata Fudhail: “Jika aku peruntukkan bagi diriku, maka tidak akan melampaui diriku sendiri. Namun jika kuperuntukkan bagi penguasa, maka pebguasa akan menjadi baik, maka kebaikannya akan mendatangkan kemaslahatan bagi para hamba dan negara.”
Berkata Imam Al-Barbahari: “Kita diperintahkan untuk mendo’akan mereka dengan kebaikan, dan kita tidak diperintahkan untuk mendo’akan mereka dengan kejelekan, walaupun mereka dzalim. Sebab kedzaliman dan sikap melampaui batasnya mereka hanya terbatas pada diri mereka. Dan kebaikan mereka menunjukkan kebaikan bagi diri mereka dan kaum muslimin.”(51)
TANDA AHLUS SUNNAH ADALAH MENDO’AKAN KEBAIKAN BAGI PENGUASA DAN TANDA AHLI BID’AH ADALAH MENDOAKAN KEJELEKAN ATAS PENGUASA
Diantara tanda ahlus sunnah adalah mendo’akan penguasa dengan kebaikan dan agar menjadi shaleh, serta diberi taufiq, dan diantara tanda ahli bid’ah adalah mendo’akan kejelekan atas penguasa. Berkata Imam Barbahari:
“إذا رأيت الرجل يدعو على السلطان فاعلم أنه صاحب هوى .و إذا رأيت الرجل يدعو للسلطان بالصلاح فاعلم أنه صاحب سنة إن شاء الله “
“Jika engkau melihat seseorang mendo’akan kejelekan atas penguasa maka ketahuilah bahwa dia pengikut hawa nafsu, dan jika engkau melihat seseorang mendo’akan kebaikan bagi penguasa maka ketahuilah bahwa dia adalah Ahlus Sunnah insya Allah.”
ENGGAN MENDOAKAN KEBAIKAN KEPADA PENGUASA
Sebagian manusia ada yang mencegah diri dari mendo’akan penguasa. Dan tidak diragukan lagi bahwa ini suatu kesalahan.
Berkata Al-Allamah Bin Baaz Rahimahullah tentang orang yang enggan mendo’akan kebaikan bagi penguasa :
“Ini termasuk dari kejahilannya, dan tidak memiliki ilmu. Mendo’akan kebaikan untuk penguasa termasuk diantara pendekatan diri kepada Allah yang paling agung, dan amalan ketaatan yang paling afdhal, dan termasuk nasehat bagi Allah dan hamba-hamba-Nya.”
Dan Nabi صلى الله عليه وسلم tatkala dikatakan kepada beliau bahwa kabilah Daus telah membangkang! Maka beliau berdo’a: “Ya Allah, berilah petunjuk kepada kabilah Daus dan datangkanlah mereka.” Beliau mendo’akan kebaikan untuk manusia. Dan penguasa lebih utama untuk dido’akan kebaikan, sebab baiknya penguasa pertanda baiknya umat. Dan mendo’akannya termasuk do’a yang terpenting.”(52)
—————————————————————————-
1 Asy-syari’ah,Al-ajurri:1/371
2 Riwayat ini dilemahkan Al-Allamah Al-Albani dalam silsilah al-ahadits adh-dho’ifah:jil:3, no: 1358. (penterjemah)
3 Sanadnya dho’if, dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang bernama Ziyad bin Kusaib Al- Adawi. Berkata Al-Hafidz: maqbul. (pent).
4 Hadits ini dishohihkan Al-Albani dalam shohih al-jami’:3253.(pent).
5 Hadits ini dilemahkan oleh Al-Albani rahimahullah Ta’ala dalam tahqiqnya terhadap kitab As- sunnah, karangan Ibnu Abi Ashim:no: 1020. (pent.).
6 An-nihayah:2/190.
7 Majmu’ fatawa:35/16.
8 Tafsir Ibnu Katsir:1/530
9 Syarah Muslim,An-Nawawi:12/308.
10 Al-ma’lum: 7
11 Nasihah muhimmah:23
12 Jami’ al-‘ulum wal hikam:2/117
13 Jami’ al-‘ulum wal hikam:2/117
14 Lihat :an-nasihah al-muhimmah:29
15 Di shohihkan Al-Albani dalam silsilah al-ahadits as-shohihah,jil:6.No: 2735. (penterjemah).
16 Mu’amalatul hukkam: 78.
17 Hadits ini dari Hudzaifah radhiallahu anhu, dishohihkan Al-Albani dalam silsilah al-ahadits as- shohihah,jil: 6, no:2739. (pent.)
18 Dari kaset: taat kepada penguasa.
(tambahan penerjemah): adapun hadits yang disebutkan diriwayatkan At-Thabrani dari Zaid bin Salamah Al-Ju’fi.dishohihkan Al-Albani dalam shohih al-jami’: 4088.
19 Ad-duror as-saniyyah:7/239,dan mu’amalatul hukkam: 24
20 As-sail al-jarror:4/512.secara ringkas.
21 Al-minhaj: 1/115
22 Al-ma’lum:19
23 Tuhfatul ahwadzi: 5/365
24 Dari kaset: taat kepada penguasa.
25 Al-majmu’:35/9
26 Dari kaset: taat terhadap penguasa.
27 oleh alus syaikh, majalah dakwah, vol: 1816/16 sya’ban/ 1422 H (33).
28 Sholeh alus syaikh, majalah dakwah, vol: 1816/16 sya’ban/1422 H (14)
29 Nama tempat kosong tanpa penghuni.
30 Peranakan kuda,atau jenis kuda kecil
31 Maksudnya adalah pemerintah Sa’udi arabia
32 Dar kaset: taat kepada penguasa
33 Diriwayatkan oleh Ashabus sunan kecuali An-Nasaai dari hadits Aisyah radhiallahu anha.Dishohihkan Al-Albani dalam irwa’ al-gholil: 6/1840. (penerjemah).
34 Telah disebutkan sebelumnya bahwa sanadnya lemah. (penterjemah).
35 Siyaru a’laam an-nubala’:14/508
36 Majmu’ fatawa: 28/179.
37 idem
38 Al-ma’lum:9
39 Nasihatun muhimmah:30
40 Syubhat ini dijadikan hujjah kebanyakan mereka yang tidak bersabar atas kedzaliman penguasa!!! Maka perhatikanlah jawaban Imam Ahmad rahimahullah dengan baik,engkau mendapatinya sesuai dengan sunnah.
41 Lihat: mihnah Imam Ahmad: 70-72,al-majmu’:12/488,dan al-mu’amalah:7
42 Ad-duror as-saniyyah : 7/177
43 Bahkan Imam Muslim pun meriwayatkan hadits ini. (penterjemah).
44 Fathul bari(13/7),dan al-mu’amalah: 68.
45 Fathul bari:13\68.
46 Al-majmu’:35/16
47 Syarah Muslim: 12/322
48 At-tahdzir min at-tasarru’ fit takfir,karya al-Urayni,: 22.
49 Jami’ al-ulum wal-hikam:1/222
50 Al-ma’lum:20.
51 Syarhus sunnah: 114.
52 Al-ma’lum:21
0 komentar:
Posting Komentar